Dulu Menabung Pangkal Kaya; Sekarang Menabung Terdampak Inflasi
Sejak kecil, kita sudah dicekoki pepatah: “Hemat pangkal kaya.” Menabung seolah menjadi jalan lurus menuju masa depan cerah. Dulu itu masuk akal; sekarang, inflasi membuat jalan itu terasa berkerikil—bahkan kadang menurun.
Dulu, nilai uang lebih tenang. Bunga tabungan terasa, harga barang tidak seberisik hari ini. Celengan ayam dari tanah liat bukan sekadar wadah koin, melainkan simbol kesabaran. Saat dipecah menjelang Lebaran, koin berhamburan dan kita merasa jadi orang kaya kecil-kecilan. Menabung kala itu bukan hanya perkara angka, tetapi juga latihan disiplin.
Kini romantika itu seperti cerita masa lalu. Uang yang ditabung diam-diam menyusut nilainya, tergerus inflasi. Simpan seratus ribu hari ini, tahun depan bisa jadi hanya cukup membeli separuh dari barang yang sama. Bank memberi bunga kecil, sementara biaya administrasi rajin bekerja. Kita pun merasa berjalan di tempat: rajin menabung, tapi kemiskinan tetap setia menemani. Terima kasih, inflasi.
Ironisnya, ketika rakyat diminta hidup hemat, gaya hidup sebagian pejabat justru melenggang di jalur berlawanan. Rakyat disuruh mengencangkan ikat pinggang, sementara pesta, fasilitas mewah, dan tunjangan serba ada dipertontonkan. Bank juga tak kalah rajin mengajak menabung, padahal mereka bermain di arena investasi berisiko yang keuntungannya jauh melampaui bunga tabungan. Lalu, pertanyaannya: hemat pangkal apa, sebenarnya?
Kalau menabung uang kian melelahkan, mungkin maknanya perlu digeser.
Menabung tak harus selalu berarti menyimpan rupiah di rekening. Ada bentuk tabungan yang lebih tahan banting terhadap inflasi: menabung emas, menabung ilmu, menabung keterampilan, bahkan menabung relasi baik. Semuanya sulit diukur dengan angka, tetapi nilainya panjang umur.
Ada pula tabungan yang tidak kasat mata: menabung kebaikan, menabung doa, menabung empati. Nilainya memang tak bisa dipatok kurs, namun buahnya kerap lebih nyata saat kita sedang terhimpit keadaan. Tabungan macam ini tak mengenal potongan administrasi, tak tergerus inflasi, dan tak bisa dicuri siapa pun.
Pada akhirnya, menabung tetap penting—hanya saja kita perlu lebih bijak memaknainya. Dunia bergerak, maka kita pun mesti ikut bergerak. Pepatah lama mungkin terasa usang, tetapi intinya tetap berguna: melatih diri untuk tidak boros dan menyiapkan masa depan. Hanya saja, masa depan itu kini tidak cukup diamankan oleh rupiah semata.
Siapa tahu, di tengah dunia yang makin tak pasti, tabungan terbaik justru bukan yang kita titipkan di bank, melainkan yang kita tanam dalam diri, dalam ilmu, dalam relasi, dan dalam kebaikan sehari-hari.
Join the conversation