Bahagia Itu Sederhana
Beberapa waktu lalu, saya melihat foto seorang anak kecil yang sedang tertawa lepas sambil memegang es krim. Keterangan pada foto itu berbunyi: “Bahagia itu sederhana.” Dan saya setuju. Bahkan, saking sederhananya, orang dewasa justru sering kesulitan mendapatkannya—bukan karena mahal, tetapi karena kita lupa caranya.
Perhatikanlah anak-anak. Mereka dapat merasa bahagia hanya dengan kardus bekas, berlari-lari kecil di gang sempit, atau mengejar layang-layang putus di pematang sawah. Sementara orang dewasa? Sudah minum kopi, sudah beristirahat, sudah menonton video lucu selama satu jam, namun tetap merasa kosong.
Karena anak-anak memiliki satu hal yang tak lagi kita miliki: kepolosan. Mereka belum mengenal cicilan, belum memahami harga kebutuhan pokok yang terus naik, dan belum pernah merasakan frustrasi karena pulsa habis saat sedang darurat. Hidup mereka masih penuh dengan rasa ingin tahu dan tawa-tawa kecil yang tak penting. Sementara kita, sebagai orang dewasa, harus menyesuaikan tawa—jangan terlalu keras, jangan terlalu sering—takut dianggap tidak sopan.
Dunia anak-anak absurd tetapi menyenangkan. Pasir bisa menjadi nasi goreng, galah asin lebih penting daripada tugas sekolah, dan tembok rumah adalah kanvas bebas. Menangis adalah hal wajar, bukan sesuatu yang harus ditahan sambil pura-pura sibuk mencangkul.
Namun kenyataannya, kita ini telah dewasa. Sudah tahu cara berhemat di akhir bulan, paham bahwa kabar dari tetangga menyebar lebih cepat daripada notifikasi WhatsApp, dan terbiasa menjawab pertanyaan hidup dengan senyum kebingungan.
Kepolosan masa kecil telah lama kita tinggalkan, mungkin sejak pertanyaan “Mau main apa hari ini?” digantikan oleh “Sudah kerja di mana?”
Namun jika kepolosan itu telah hilang, kita masih bisa merawat sifat kekanak-kanakan yang tersisa. Bukan dengan cara merengek karena tidak dibelikan jajanan, tetapi dengan mengizinkan diri sendiri untuk bahagia tanpa syarat.
Saya memiliki seorang teman yang setiap sore menonton ulang kartun Upin Ipin. Menurutnya, itu cara agar ia tetap merasa muda. Ibunya sempat bingung, namun lama-lama ikut menonton juga. “Ternyata lucu juga,” katanya.
Contoh lain, seorang kawan yang lain berusia 35 tahun masih gemar bermain kelereng bersama keponakannya. Ia menyebutnya hiburan yang murah dan menyenangkan. Dan tak segan dia menjelaskan pertanyaan: "wis gerang kok panggah dolanan nekeran" dengan jawaban: “Daripada menghabiskan waktu untuk hal yang tidak jelas, lebih baik ini,” katanya sambil tertawa.
Menjadi dewasa memang suatu keniscayaan, tetapi menjadi terlalu serius adalah pilihan yang melelahkan. Dunia sudah cukup berat—cuaca kian panas, harga barang naik, dan jaringan internet kerap hilang. Jika kita sendiri melarang diri untuk tertawa, bermain, dan sedikit norak sesekali, maka jangan heran jika hidup terasa makin sempit.
Kebahagiaan bukan soal memiliki segalanya, tetapi mampu menikmati sesuatu—sekecil apa pun itu. Dan anak-anak adalah ahlinya. Mereka tidak bertanya, “Ini layang-layang buatan siapa? Aman atau tidak?” Mereka hanya berkata, “Seru, bisa terbang!” lalu berlari mengejarnya sampai terperosok ke selokan—dan malah tertawa sendiri.
Kita? Melihat langit cerah saja sudah curiga, “Jangan-jangan sebentar lagi dimintai sumbangan untuk acara RT.”
Atau, kalau masih malu juga untuk tertawa atau bermain sendiri, ya sudah—punya saja anak kecil. Bukan semata-mata untuk melanjutkan garis keturunan, tapi supaya kamu punya alasan sah untuk main kejar-kejaran, nyanyi lagu anak-anak, atau nonton kartun tanpa dihakimi. Cukup ajak anakmu bermain, lalu tertawalah bersama mereka. Dunia akan memaklumi. Bahkan mungkin menganggapmu orang tua teladan.
Atau, barangkali, kita juga perlu merawat keingintahuan dengan cara yang riang pula—karena bisa jadi, matinya rasa ingin tahu adalah awal dari stres yang diam-diam menyelinap ke hidup kita. Anak-anak bertanya karena mereka ingin tahu. Orang dewasa berhenti bertanya karena sudah lelah, atau merasa semua jawabannya tidak lagi menyenangkan. Maka jangan heran jika hari-hari terasa hampa—sebab rasa ingin tahu itu tak lagi kita peluk.
“The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing.”
“Yang penting adalah jangan pernah berhenti bertanya. Keingintahuan memiliki alasan tersendiri untuk ada.”
– Albert Einstein
Jadi, jika Anda merasa kehilangan bahagia, mungkin yang hilang bukan nasib baik, melainkan izin untuk bersikap kekanak-kanakan. Ambillah kembali izin itu. Tertawalah, bermainlah, menangislah jika perlu. Belilah balon. Menarilah di dapur sambil menyanyikan lagu dangdut tahun 2000-an. Buatlah lelucon receh. Pandanglah langit, dan katakan, “Warna biru ini menenangkan, ya.”
Anda bukan kekanak-kanakan. Anda hanya sedang waras dengan cara yang lebih riang.
“In every real man a child is hidden that wants to play.”
“Dalam setiap orang dewasa yang sejati, tersembunyi seorang anak yang ingin bermain.”
— Friedrich Nietzsche
Demikian motifashit kali ini, semoga bermanfaat. Ada ide lain? silahkan tinggalkan komentar di bawah, jika ada kolomnya 😁...
1 comment