Gelombang NPD dan Kehausan Akan Nama-Nama Baru

Saat semua orang bicara NPD, mungkin yang sebenarnya kita cari bukan penjelasan, tapi pembenaran.
Beberapa waktu terakhir, linimasa --lini masa saya, tentunya-- seperti diserbu oleh kata yang sama: NPD. Entah siapa yang memulainya, tapi dalam hitungan hari, banyak orang tiba-tiba punya pendapat tentangnya. Ada yang menulis dengan nada bijak, ada yang curhat, ada juga yang menegur dengan gaya dokter tanpa gelar, bahkan ada yang playing victim juga.

Fenomena seperti ini bukan baru. Kita pernah punya musim toxic relationship, gaslighting, healing, lalu sekarang giliran NPD. Polanya mirip: satu istilah psikologi bocor ke dunia maya, lalu berubah jadi jargon sosial baru. Orang tak lagi butuh diagnosa, cukup pengalaman pribadi dan satu istilah yang terdengar ilmiah—maka lengkaplah perannya sebagai korban atau penyintas.

Namun mungkin yang lebih menarik bukan soal istilahnya, melainkan cara kita begitu cepat haus nama-nama baru untuk menjelaskan perasaan lama.
Dulu kita menyebutnya “egois”, sekarang “narsistik.”
Dulu kita menyebutnya “tidak peka”, sekarang “minim empati.”
Dulu cukup dibilang “capek sama orang”, kini jadi “aku trauma karena pernah berurusan dengan NPD.”

Bahasa memang menyelamatkan, tapi kadang juga menipu. Dengan menamai sesuatu, kita merasa menguasainya. Kita pikir sudah memahami masalahnya, padahal baru nylimur dan membungkusnya dengan istilah yang sedang tren. Kita merasa sudah sembuh, padahal baru berganti kata.

Mungkin memang begitulah sifat zaman ini: luka kolektif yang dirapikan dengan kutipan psikologi populer. Kita saling menyembuhkan lewat istilah, saling membenarkan lewat status, lalu pelan-pelan kehilangan kemampuan untuk diam. Karena diam hari ini terasa kuno, sementara bicara dengan istilah ilmiah memberi rasa modern—meski yang dibicarakan tetap soal hati yang tak kunjung tenang.


Siapa yang sebenarnya narsistik?

Ada satu ironi yang jarang disadari: dalam banyak kasus, orang yang paling lantang menuduh orang lain “NPD” sering kali tak sadar sedang menampilkan ciri yang sama. Bukan karena mereka sengaja, tapi karena bingkai yang mereka pakai serupa—melihat dunia dari pusat diri.
Bedanya cuma posisi: satu merasa “aku paling istimewa”, satunya merasa “aku paling tahu siapa yang bermasalah.”

Kita mungkin menganggap sedang berjarak dari narsisme, padahal hanya mengganti bentuknya. Dulu narsisme tampil lewat cermin dan kamera depan, kini ia menyamar dalam bentuk “kesadaran psikologis”. Ada semacam kenikmatan ketika bisa menyebut “dia NPD”—seolah dengan memberi label, kita naik satu tingkat kesadaran moral. Tapi bukankah keinginan untuk “lebih paham dari yang lain” juga sejenis narsisme? Versi yang lebih rapi, lebih halus, dan lebih bisa diterima di ruang publik.

Media sosial menyediakan panggung yang sempurna untuk itu.
Kita membicarakan NPD sambil memeragakannya:
menuding orang haus validasi, lewat unggahan yang juga haus validasi;
mengkritik yang narsis, sambil menulis status yang menunggu disetujui orang banyak.

Di dunia maya, narsisme berubah bentuk. Ia tak lagi sekadar tentang cinta diri yang berlebihan, tapi tentang siapa yang tampak paling sadar tentang cinta diri yang berlebihan itu.
Kita tidak ingin terlihat sombong, kita hanya ingin terlihat “paling tahu soal sombong.”
Kita tidak mau disebut egois, kita hanya ingin menunjukkan siapa yang lebih egois dari kita.

Dan begitulah siklusnya berputar: dari luka, lahir istilah; dari istilah, lahir identitas baru; dari identitas baru, lahir kebutuhan baru untuk dilihat. Akhirnya, yang kita kejar bukan lagi pemahaman, tapi pengakuan—bahwa kita tidak seperti “mereka” yang narsistik itu.


Mungkin pada titik tertentu, kita semua sedang jadi versi kecil dari apa yang kita bicarakan.
Hanya berbeda kadar dan konteks.
Kita ingin dilihat sebagai orang yang sadar, berjarak, dan tidak terjebak—padahal, di balik layar yang menyala itu, kita tetap menunggu seseorang menekan tombol like.

Dan mungkin, itu pun sudah cukup jujur untuk diakui:
bahwa di antara segala istilah baru yang beredar,
yang paling sulit kita lepaskan tetap satu—
keinginan untuk dianggap baik.

Oh… iya. Jangan-jangan saya yang mengidap NPD karena menulis ini. 😁