Bercita-cita menjadi Habib
Jika banyak yang berharap dan berambisi menjadi kiyai, maka saya ingin menjadi Habib.
Sebelum membaca tulisan ini lebih lanjut, ada baiknya saya beri peringatan dini: ini adalah tulisan yang bisa membuat Anda dianggap suul adab. Jika Anda mudah tersinggung, silakan tutup halaman ini dan buka YouTube kajian sholawat atau ulasan sirah Nabi saja. Lebih adem.
Habib yang saya maksud di sini bukan kawan ngopi Anda, bukan juga tetangga sebelah yang suka mancing bareng. Yang saya bicarakan adalah “Habib” dalam pengertian genealogis—mereka yang secara resmi diakui sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, dan biasanya terdaftar dalam organisasi bernama Rabithah Alawiyyah. Sebuah lembaga yang cukup eksklusif. Jika Anda suatu saat mendengar ada lowongan pendaftaran anggota baru Rabithah, mohon kabari saya, barangkali saya bisa ikut antre.
Sosok Habib, apalagi yang tercatat di Rabithah Alawiyyah, adalah sosok yang punya aura istimewa. Dalam diri mereka konon mengalir darah manusia paling mulia sepanjang sejarah. Ini bukan gelar akademik yang bisa ditempuh lewat skripsi dan seminar. Ini privilese genetika. Maka tak heran, sebagian masyarakat menempatkan mereka lebih tinggi dari rata-rata manusia biasa, bahkan kadang lebih tinggi dari ulama yang telah puluhan tahun belajar kitab kuning dan menyantap sarung.
Saya yakin Anda pernah melihat video yang memperlihatkan orang berebut cium tangan bahkan kaki seorang Habib. Atau melihat majlis sholawat yang mendadak membludak hanya karena ada embel-embel “dihadiri para Habaib dari daerah Anu.” Pertanyaannya: yang dicintai umat ini siapa? Nabi Muhammad atau Habib-nya?
Lebih jauh, saya pernah dengar dalam salah satu kajian daring, bahwa sekadar berprasangka buruk pada seorang Habib bisa menutup pintu rahmat Allah. Sungguh berat menjadi rakyat jelata di zaman di mana ampunan Tuhan pun bisa tertahan oleh status darah seseorang.
Maka wajar saja, dalam gelapnya hati saya yang banyak noda ini, terbesit keinginan sederhana: andaikan saya bisa jadi Habib. Bukan untuk mendekat ke Tuhan, tapi agar saya bisa ngelantur tanpa banyak orang berani mengoreksi. Jika saya khilaf, akan ada puluhan netizen yang pasang badan membela saya dengan semangat kesukuan dan kutipan-kutipan yang dipotong seenaknya.
Kita ambil contoh kasus yang mungkin masih hangat: Pak Bahar. Coba bayangkan, kalau yang mencium tangan dan kaki itu adalah pengikut dari seorang ustaz kampung atau penceramah YouTube, bisa-bisa jadi bahan olok-olok nasional. Tapi karena ini dilakukan oleh seseorang yang menyandang gelar Habib, maka banyak yang mendadak kehilangan sensitivitas kritisnya. Ulama yang biasanya cepat berfatwa soal haram-halal, tiba-tiba jadi penonton pasif. Entah diam karena kagum, atau karena takut dosa—saya tidak tahu.
Saya ingat sebuah fatwa dari ulama besar yang pernah saya kagumi: "Jika ada Habib berbuat tidak baik, anggap saja seperti lembaran mushaf yang rusak: tidak layak dibaca, tapi juga tidak pantas dibuang. Maka diamkan saja, jangan diinjak." Nasihat yang bijak. Tapi jujur saja, kadang hati saya menolak. Apakah kita, sebagai manusia biasa, harus terus diam ketika martabat kita diinjak hanya karena kita tidak lahir dari silsilah yang “mulia”?
Seorang teman pernah berseloroh: kalau anak orang biasa bertingkah aneh, kita akan langsung menyebutnya “gila”. Tapi kalau anak kyai atau Habib berbuat aneh, kita akan sebut “jadzab”—karena katanya dia sedang mendapat ‘kasih sayang khusus’ dari Tuhan. Lalu, bagaimana dengan kita yang tak punya privilese darah, tak punya stempel Rabithah, tak juga mendapat pencerahan spiritual di usia muda?
Terkadang saya ingin, sekadar ingin, mengoreksi ayat ini:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا . إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Wahai manusia, katanya kita diciptakan dari laki-laki dan perempuan, lalu dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, bukan saling menindas atas nama darah dan garis nasab.
Tapi mungkin, ayat ini belum dibaca oleh semua orang dengan hati yang jernih. Atau mungkin, sebagian orang hanya membacanya saat khutbah Jumat, lalu kembali memandang manusia dari nama belakang dan silsilah keluarganya.
2 comments