Bentrok PWI-LS dan FPI: Memperebutkan Tulang Tanpa Sumsum
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.”
— HR. Muslim
Dalam dunia yang penuh dengan simbol, kadang kita tergoda untuk percaya bahwa yang tampak lah yang paling sah. Apalagi jika simbol itu bernuansa agama—yang suci, sakral, dan penuh wibawa. Maka, ketika dua kelompok yang sama-sama mengaku "mewakili Islam" saling adu otot dan orasi, kita sebagai umat dibuat bingung: ini perebutan kebenaran, atau sekadar rebutan panggung?
Bentrok antara PWI-LS dan FPI di Depok seakan menjadi cermin betapa simbol-simbol agama bisa menjelma jadi ladang klaim. PWI-LS, yang mengusung narasi "pecinta ulama dan santri", menyebut FPI sebagai kelompok yang tak punya nasab keulamaan yang jelas. Di sisi lain, FPI pun tak tinggal diam—karena simbol dan identitas bukan barang yang bisa dibagi gratis begitu saja.
Padahal, jika ditelisik lebih dalam, apa sebenarnya yang sedang dipertaruhkan?
Kapital, Kekuasaan, dan Simbol
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, menyebut bahwa dalam kehidupan sosial, manusia tak hanya memperebutkan uang atau kekuasaan formal. Ada yang disebut kapital simbolik—yakni penghormatan, pengakuan, atau legitimasi yang dianggap mulia oleh masyarakat. Dalam konteks kelompok keagamaan, kapital simbolik ini bisa berupa gelar ulama, status keturunan (nasab), bahkan keberpihakan pada simbol-simbol suci tertentu.
Menurut Bourdieu, kapital ini bisa ditransformasikan ke bentuk lain. Misalnya: seseorang dengan kapital simbolik tinggi—katakanlah bergelar "Habib", atau diakui sebagai ulama besar—lebih mudah memperoleh kapital sosial (dukungan massa), kapital ekonomi (sumbangan, donasi), atau bahkan kapital politik (pengaruh dalam pemilihan umum).
Maka tak heran jika simbol-simbol ini dipertahankan mati-matian, bahkan diperebutkan. Karena di balik simbol, ada kekuasaan.
Ketika Umat Terpecah oleh Simbol
Abdullahi Ahmed An-Na'im, seorang pemikir Muslim kontemporer, pernah mengingatkan tentang bahaya fragmentasi umat. Menurutnya, banyak konflik dalam umat Islam bukanlah konflik teologis murni, melainkan hasil dari politisasi identitas dan klaim representasi. Yang diperebutkan bukan lagi substansi, melainkan siapa yang paling layak bicara atas nama Islam.
Jika direnungkan, bentrok seperti yang terjadi di Depok ini bukanlah soal akidah. Ini tentang siapa yang lebih pantas menyandang identitas "ulama", siapa yang lebih berhak disebut "pembela Islam", siapa yang berhak berdiri paling depan dalam barisan umat.
Dan ironisnya, semua itu tampak begitu penting—padahal sesungguhnya tidak.
Ulama yang Menolak Perang Simbol
Sejumlah ulama salaf terdahulu justru menegaskan agar umat tidak terjebak dalam fanatisme kelompok dan simbol. Imam Malik rahimahullah pernah berkata:
"Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali penghuni kubur ini."
(sambil menunjuk ke makam Nabi ï·º)
Sebuah kalimat pendek yang dalam: bahwa tak ada satu golongan, ulama, atau ormas yang bisa mengklaim kebenaran mutlak. Pendapat bisa salah, simbol bisa keliru dimaknai, dan klaim bisa tak berdasar.
Syaikh al-Albani rahimahullah juga kerap menekankan pentingnya ikhlas dan amal yang benar, bukan sekadar semangat atau atribut luar. Bahkan beliau pernah mengkritik keras aksi-aksi yang mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar tapi dilakukan dengan cara-cara yang tidak syar’i dan hanya menambah kebencian.
Semangat membela Islam tak boleh melupakan akhlak Islam itu sendiri.
Perebutan yang Membuat Letih
Jika direnungkan, betapa banyak energi umat yang terbuang untuk memperdebatkan hal-hal yang sebetulnya tidak esensial. Kita berdebat soal gelar, tentang siapa yang lebih layak memimpin doa, tentang bendera, tentang nasab, tentang metode hisab dan rukyat, tentang warna sorban...
Sementara itu, banyak anak-anak Muslim yang putus sekolah, banyak orang tua yang kelelahan karena harga pokok melonjak, dan banyak masjid yang kehilangan jamaah mudanya.
Banyak dari kita sibuk menuding bahwa umat lemah karena musuh di luar, padahal seringkali kelemahan itu datang dari dalam: dari kesenangan kita sendiri memelihara pertikaian, dari rasa nikmat saat merasa "lebih benar" dari yang lain.
Jika Bukan Simbol, Lalu Apa?
Mungkin inilah saatnya kita kembali ke titik awal: untuk apa semua ini? Untuk siapa kita merasa perlu menunjukkan bahwa kita paling berhak atas Islam? Jika Allah tak melihat rupa dan harta kita, mengapa kita sibuk mempercantik tampilan lahiriah dan memperkaya modal simbolik?
Pertanyaan ini bukan untuk mengecilkan siapa pun, tapi justru untuk mengajak semua kembali pada yang pokok: bahwa Islam tak butuh pembela, tapi membutuhkan pengamal. Bahwa Nabi Muhammad ï·º tak mewariskan simbol, tapi akhlak. Dan bahwa kemenangan Islam tak datang dari ormas paling ramai, tapi dari umat yang paling lurus hatinya.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.”
— HR. Muslim
Hadis ini tidak hanya pembuka, tapi juga penutup yang menampar. Karena siapa tahu, yang kita bela selama ini bukan Islam, tapi kebanggaan diri sendiri.
© khafi.id
Join the conversation