Duit Haram Bikin Goblok dan Statistik BPS
Waktu itu kami belum terlalu paham maksudnya. Tapi sekarang, di tengah segala macam manuver data dari lembaga resmi negara, petuah itu terasa makin relevan. Terutama ketika BPS mengumumkan bahwa seseorang dianggap tidak miskin bila punya pengeluaran minimal sekitar 20 ribu rupiah per hari.
Dua puluh ribu. Ya, angka yang bahkan tidak cukup untuk beli makan dua kali di warteg pinggir jalan.
Dianggap tidak miskin.
Sementara yang hanya punya sepuluh ribu? Mungkin dianggap manusia super—karena bisa bertahan tanpa standar manusiawi.
Lalu kita bertanya-tanya: apakah ini benar-benar bodoh, atau justru kepintaran yang jahat?
Kecurigaan itu muncul karena standar ini bukan kesalahan teknis. Tapi pilihan sadar. Negara tidak sanggup meningkatkan taraf hidup rakyatnya, maka yang diturunkan adalah standarnya. Alih-alih memperbaiki nasib orang miskin, yang diperbaiki justru cara mendefinisikan kemiskinan. Ini bukan strategi pengentasan kemiskinan, tapi strategi penyusutan data.
Seorang petinggi mungkin akan bilang, “Itu sesuai standar internasional.” Tapi kita tahu, logika seperti ini sering kali dipakai untuk memutihkan kegagalan. Dengan dalih data ilmiah, pemerintah menutup mata pada realitas.
Kita bicara tentang jutaan rakyat yang sehari-hari harus memilih: beli beras atau beli sabun, isi ulang gas atau biarkan dapur dingin. Mereka dipaksa pandai bertahan dalam keadaan yang bahkan tidak layak disebut sebagai hidup.
Kita tahu, negara memang tidak bisa memelihara semua orang. Tapi Undang-Undang Dasar menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Bukan sekadar diberi data.
Bukan sekadar disurvei dan diklasifikasi.
Tapi dipelihara—dalam arti diberi perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Yang terjadi justru sebaliknya.
Kemiskinan malah dipelihara dalam bentuk lain.
Dipelihara agar selalu ada yang bisa dijadikan objek bantuan. Dipelihara agar bisa dijadikan panggung belas kasihan. Dipelihara agar grafik dan program-program sosial tetap punya alasan untuk eksis—meskipun hasilnya nihil.
Maka, bisa dipahami jika para pejabat itu begitu khawatir. Jika standar hidup dinaikkan, maka mereka harus bekerja lebih keras, berpikir lebih jernih, dan—yang paling menyakitkan—harus mengurangi makan duit haram.
Dan di sinilah titik paling menyedihkan dari bangsa ini:
Ada semacam kebodohan yang dipelihara demi mempertahankan penghasilan.
Bukan karena mereka tidak cerdas, tapi karena berpikir jernih justru bisa menghentikan aliran rente.
Maka mereka pun memilih: lebih baik pura-pura bodoh, asal tidak berhenti kaya.
Sebagaimana pernah ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer:
“Dalam hidup, yang paling bodoh adalah orang yang hanya memakai ilmunya untuk menindas orang lain.”
Dan mungkin, hari ini kita menyaksikan versi lain dari kebodohan itu.
Bukan dalam bentuk kekerasan fisik, tapi dalam bentuk standar-standar licik yang membungkus penindasan dengan nama “data resmi”.
Bukan dengan senjata, tapi dengan angka-angka.
Dan seperti biasa, rakyat cuma bisa gigit bibir, sambil mencari cara agar besok masih bisa makan.
Join the conversation