Haji dan Panggung Prestise Kelas

Banyak orang-orang kecil—petani, buruh, pedagang asongan—yang memendam cita-cita naik haji sebagai puncak perjalanan hidup. Mereka menabung bertahun-tahun, mungkin lebih lama daripada anaknya menabung untuk sekolah. Ada yang menjual kambing, melepas tanah warisan, merelakan ladang sempit yang menjadi penopang hidup, hanya demi bisa mendaftar haji reguler. Dan setelah itu? Disuguhi fakta antrean yang bisa mencapai 47 tahun, tergantung di provinsi mana mereka mendaftar.

Bayangkan, ada kisah seorang kakek di desa kecil yang sejak awal usia empat puluhan rutin menyisihkan penghasilan hasil jual tani demi biaya haji. Ia menabung dengan telaten, berharap suatu hari bisa menyaksikan Ka’bah sebelum ajal menjemput. Namun ketika petugas menjelaskan daftar tunggu yang lebih dari tiga puluh tahun, ia hanya bisa diam. Dalam hati, mungkin ia bertanya-tanya: apakah saat gilirannya tiba, masih ada sisa umur untuknya, atau setidaknya ia sudah terlalu renta untuk berjalan tegak di tanah suci?

Di sisi lain, orang yang memiliki privilese sosial—misalnya tokoh agama yang disegani, pengusaha berkantong tebal, atau sekadar mereka yang punya jalur khusus—bisa naik haji berkali-kali. Ada yang setiap dua atau tiga tahun rutin berangkat. Ada pula yang dengan bangga menceritakan perjalanan haji plus yang lebih nyaman, hotel bintang lima, katering mewah, dan layanan khusus. Bukan semata-mata dalam rangka pelayanan agama, tetapi kadang demi status sosial dan gengsi.

Tentu, kita tidak sedang merendahkan ilmu dan peran seorang kiyai. Betul, ada kiyai yang memang ditakdirkan menjadi pengajar ribuan orang, dan berkali-kali naik haji bukan karena haus pujian, melainkan karena tugas mendampingi jamaah. Namun realitasnya juga tidak sesederhana itu. Di banyak daerah, naik haji lebih cepat bisa terjadi bukan hanya karena “panggilan Allah,” tetapi juga karena panggilan akses—akses ke jalur khusus, kuota undangan, atau modal finansial yang tak pernah dimiliki si penabung kecil.

Di titik ini, haji perlahan berubah menjadi semacam simbol status. Orang yang berkali-kali naik haji, pulang dengan embel-embel “Haji Plus,” “Haji VIP,” “Haji Undangan,” sering lebih dihormati, lebih dianggap sakral. Padahal di desa lain, ada orang yang mati dalam penantian antrean.

Tentunya, bagi saya yang bahkan sulit membayangkan bisa naik haji, terasa ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini. Mulai dari doktrin soal “panggilan” yang seakan-akan mewajarkan terjadinya ketimpangan, hingga cara pandang yang mengabaikan ketidakadilan distribusi kesempatan. Sementara di sisi lain, orang-orang berprivilese menutup mata, seolah naik haji adalah semacam kompetisi status. Meskipun benar bahwa dalam hal berbuat baik kita dianjurkan berlomba-lomba, kenyataan seperti ini justru berpotensi mendzalimi masyarakat kecil

Bayangkan, betapa getir rasanya bagi seorang petani yang sejak usia tiga puluhan menabung, lalu ketika usianya tujuh puluh baru tiba gilirannya. Ia sudah renta, atau bahkan sudah tiada. Sementara di layar televisi, kita menonton rombongan haji plus berangkat dengan pesawat carteran, diiringi selebrasi yang meriah.

Di sela antrean panjang itu, ada pula cerita tentang kursi kosong yang mendadak tersedia karena jamaah batal berangkat—entah karena sakit, meninggal, atau persoalan lain. Konon, kursi kosong itu secara aturan memang seharusnya ditawarkan kepada calon jamaah dengan nomor urut berikutnya. Namun kabar yang sering berembus di banyak daerah mengatakan, kursi tersebut lebih dulu “dicolek” oleh mereka yang punya jalur khusus, relasi yang tepat, atau sekadar keberuntungan yang entah datang dari mana. Lagi-lagi, rakyat kecil yang menabung seumur hidup hanya bisa menonton dari jauh, sambil memegang nomor antrean yang tetap tak bergeser.

Barangkali yang membuat hati semakin kecut adalah cara kita—sebagai masyarakat—memandang perbedaan itu sebagai sesuatu yang wajar. “Ya sudah, rezeki orang beda-beda,” atau “Itu panggilan,” sambil menutup mata pada ketidakadilan distribusi kuota dan akses. Seakan-akan semua tertata adil, padahal dalam diam, sistem hanya makin menegaskan siapa yang bisa dan siapa yang harus menunggu. Perlahan, haji pun kian menjelma ibadah transaksional—suatu ritual suci yang di permukaannya penuh doa dan kerendahan hati, tetapi dalam praktiknya tak luput dari urusan kuota, akses, dan transaksi yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang punya modal lebih.

Bagi para pemangku kebijakan, bisa jadi haji tak lebih dari sebuah bisnis yang memutar miliaran rupiah tiap musim. Siapa pun yang punya cukup banyak uang bisa membeli percepatan antrean dalam bentuk paket khusus. Kapitalisme pun masuk dengan tenang ke dalam ritual suci ini, merangkai logika transaksi yang halus tapi nyata: semakin besar biaya yang sanggup dibayar, semakin dekat peluang untuk bisa mencium Hajar Aswad.

Mungkin sudah waktunya kita jujur bertanya, mengapa ibadah yang seharusnya menjadi puncak kesederhanaan dan ketundukan di hadapan Tuhan perlahan berubah menjadi panggung prestise kelas. Apakah pantas kita menormalisasi antrean puluhan tahun untuk rakyat kecil, sementara yang memiliki privilese bisa berkali-kali pergi tanpa merasa canggung atau malu? Dan bagaimana seharusnya kita membayangkan tata kelola yang lebih adil, yang sungguh memberi ruang bagi orang-orang yang menabung seumur hidup tanpa harus merasa dikalahkan oleh uang dan status?

Atau memang orang kecil sengaja dijauhkan dengan rukun Islam kelima ini oleh sistem...? Jika demikian, maka kapitalisme dalam berislam pun rasanya sulit untuk diragukan: ibadah transaksional yang tak malu-malu memamerkan siapa yang layak berangkat lebih dulu, dan siapa yang ditakdirkan menunggu.