Hadiah Kemerdekaan: Ormas Dapat Tanah, Rakyat Jelata Dapat Tanggal Merah

Barangkali Nusron sedang menguji seberapa jauh ormas bisa menerima hadiah tanpa bertanya hadiah itu dari mana asalnya. Dan menguji kesabaran rakyat.
Eksperimen Nusron: Antara Hadiah, Ormas, dan Kesabaran Rakyat

“Barangkali Nusron sedang menguji seberapa jauh ormas bisa menerima hadiah tanpa bertanya hadiah itu dari mana asalnya. Dan menguji kesabaran rakyat tentunya.”

Begitu kira-kira narasi yang muncul ketika publik mendengar kabar pemerintah mengamankan 1,4 juta hektare tanah telantar untuk kemudian dibagikan kepada ormas besar.

Tentu ini langkah sah. UUPA 1960 dan PP 20 Tahun 2021 memang memberi ruang bagi negara untuk mengambil tanah telantar dari pemegang hak yang malas atau lupa memanfaatkannya. Tetapi seperti biasa, masalah bukan di “boleh” atau “tidaknya”, melainkan di “kepada siapa” tanah itu dibagikan.

Ormas penerima pun bukan sembarangan: NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, hingga organisasi mahasiswa ekstra kampus PMII. Semua nama itu terdengar gagah, berpengaruh, dan… strategis. Ini bukan sekadar distribusi tanah; ini distribusi politis yang penuh muatan rasa “persaudaraan”.

Tentu saja, pemerintah punya alasan. Katanya, ormas lebih terorganisir, punya jaringan sosial, bisa mengelola lahan untuk kepentingan publik. Kedengarannya masuk akal. Sama masuk akalnya seperti alasan mengapa sebagian proyek mercusuar terus dibangun meski rakyat antre beli beras murah.

Mari kita bayangkan skenario lain. Seandainya lahan itu dibagikan kepada rakyat kecil yang benar-benar tidak punya tanah, apa yang akan terjadi?
- Petani kecil mungkin punya sawah sendiri.
- Keluarga miskin di perkotaan mungkin punya sebidang tanah untuk rumah layak.
- Komunitas adat mungkin bisa mengelola tanahnya tanpa khawatir tergusur.
Kedengarannya terlalu membahagiakan untuk jadi kenyataan. Pemerataan keadilan sosial rupanya memang konsep yang keren di buku, tapi sedikit merepotkan di lapangan.

Sebagai gantinya, lahan-lahan ini akan dikelola ormas besar. Dan di sinilah masuk teori klasik Marcel Mauss tentang The Gift. Setiap pemberian menciptakan kewajiban moral. Jadi, kalau pemerintah memberi 1,4 juta hektare, bukan tidak mungkin yang diharapkan adalah sesuatu yang tidak tertulis: keheningan.

Bukan berarti ormas akan berhenti bersuara. Oh tidak, suara mereka mungkin tetap keras—asal tidak diarahkan ke pintu Istana. Inilah yang dalam teori politik disebut patronase, atau dalam bahasa warung kopi disebut “bagi-bagi jatah biar adem”.

Tentu kita tidak boleh sinis berlebihan. Barangkali ini murni soal efisiensi: lebih mudah menghibahkan tanah ke sepuluh organisasi besar daripada ke sejuta kepala keluarga. Seperti kata pepatah birokrasi, “Sedikit penerima, sedikit repot.”

Tapi rakyat kecil yang tak punya tanah mungkin bertanya-tanya:
“Jadi kapan giliran kami?”
Pertanyaan ini biasanya dijawab dengan penuh keramahan:
“Nanti, setelah semua sudah teratur. Sabar.”
Sabar, kata mereka, sambil menguji seberapa elastis kesabaran itu.

Ada juga yang berpendapat, ini sebenarnya langkah brilian Nusron untuk menciptakan eksperimen sosial berskala nasional. Bayangkan, dalam satu kebijakan kita bisa menguji:
1. Seberapa jauh ormas mau menerima hadiah tanpa bertanya.
2. Seberapa jauh rakyat mau menunggu pemerataan yang tak kunjung datang.
3. Seberapa jauh publik bisa menganggap semua ini wajar.
Jika sukses, ini bisa jadi model kebijakan lintas sektor: dari tanah, tambang, bahkan mungkin udara. Siapa tahu suatu hari udara pun dibagi kuotanya, tentu saja demi kepentingan publik.

Pada akhirnya, 1,4 juta hektare tanah telantar ini hanyalah angka. Angka besar yang terdengar seperti peluang emas, tapi realisasinya selalu berputar di lingkaran penerima yang “aman” dan “dapat dipercaya”.

Rakyat kecil? Tetap menjadi penonton setia. Mereka tidak diundang ke panggung utama, tetapi diminta tetap menepuk tangan, karena tepuk tangan rakyat adalah modal sosial pemerintah.

Dan begitulah, eksperimen Nusron terus berjalan. Hadiah diberikan, ormas tersenyum, rakyat menunggu. Sebuah harmoni politik yang indah, setidaknya bagi mereka yang duduk di barisan depan.

Mungkin ini juga bagian dari hadiah kemerdekaan selain libur tanggal 18. Ormas akan dapat tanah, rakyat jelata cukup dapat tanggal merah.

© khafi.id