Jangan-jangan Kita yang Gila

Orang Edan di Antara Kita
Beberapa kali saya melihatnya melintas dan beberapa kali pula saya menyempatkan diri membuntutinya: motor penuh lampu warna-warni, menyala kelap-kelip seperti lampu pesta, dan speaker yang memekakkan telinga dengan lagu-lagu lawas yang diputar kencang. Penampilannya sulit dilewatkan: sepatu ala punk, celana jeans, sabuk besar bergambar tengkorak, baju mirip seragam dinas dimasukkan rapi, lengkap dengan kupluk ala DPR atau kadang helm retro yang entah didapat dari mana.
Konon, katanya, orang ini agak edan. Tapi keluarganya mapan. Segala kebutuhannya tercukupi, jadi biarlah kalau mau bergaya aneh-aneh. Toh, tidak menyusahkan siapa-siapa.
Suatu kali saya bertemu dengannya di SPBU. Kebetulan kami satu antrean, motornya persis di depan saya. Selesai isi bensin, saya buntuti. Entah apa yang mendorong, mungkin sekadar rasa penasaran yang sudah lama mengendap. Di sebuah pinggir jalan yang agak sepi, saya panggil dia:
“Kene, Kang. Rokok-rokokan.”
Kebetulan saya sedang membawa rokok pemberian orang. Bukan rokok mahal. Rokok lokal, biasa saja. Tapi dia menyambut ramah:
“Oke... siap...”
Lalu dia keluarkan rokok dari tas pinggangnya. Satu bungkus cigarillos, belum dibuka. Satu lagi Marlboro merah, sudah berkurang beberapa batang.
Waduh... saya langsung merasa kalah merek.
Kami ngobrol ngalor-ngidul. Tentang cuaca, jalan rusak, kadang tanpa arah. Hingga akhirnya, karena rasa penasaran belum habis, saya tanya langsung:
“Jare wong-wong, awakmu edan lho, Kang.”
Dia menjawab santai, tanpa beban, tapi kata-katanya menghentak:
“Lho, ya gak opo-opo edan. Lha opo salah dadi wong edan?”
“Sing salah ki yen nyalahi uwong. Ngganggu uwong. Masio waras lek ngganggu uwong yo tetep salah. Tapi, edane tetep gak salah to?”
Saya terdiam. Tak ada jawaban. Kalimat itu sudah cukup menjadi cermin bagi kita semua.
الجنون فنون
Kegilaan itu banyak bentuknya.
Ungkapan ini populer dalam bahasa Arab. Biasanya diucapkan setengah bercanda, setengah serius. Tapi maknanya dalam: kegilaan bukan sesuatu yang tunggal. Ia punya banyak rupa, bahkan bisa jadi lebih waras daripada kewarasan itu sendiri.
Sigmund Freud pernah berkata bahwa tak ada manusia yang benar-benar waras. Setiap orang menyimpan kegilaan kecil yang ditekan dalam-dalam agar tetap tampak “normal”.
Michel Foucault melihat kegilaan sebagai konstruksi sosial—produk sejarah, bukan hanya penyakit. Yang disebut gila kadang hanyalah mereka yang menolak tunduk pada akal sehat versi penguasa.
Mungkin mereka yang kita sebut edan itu bukan gila, tapi sedang membawa sesuatu yang tak kita pahami: cinta, luka, atau mungkin kejujuran yang tidak muat dalam kerangka "kewarasan umum".
Kita hidup di zaman yang senang melabeli: aneh, menyimpang, gila, tidak normal—padahal bisa jadi, mereka yang benar-benar jujur pada dirinya sendirilah yang kita labeli edan.
Mungkin memang dia edan. Tapi bisa jadi, kitalah yang terlalu lama hidup dalam kepura-puraan...
Dan mungkin, sebenarnya, justru kitalah yang gila.
Hanya karena mayoritas, kita tetap saja percaya diri: kitalah yang waras dan merekalah yang gila.
© khafi.id
1 comment