Kebodohan yang Membahagiakan

Rawatlah pertemanan dengan orang-orang pandai yang rela bersikap bodoh, hanya demi menjaga kebahagiaan kita yang bodoh.

Beberapa waktu lalu, di tengah lalu lintas reels yang kadang menyebalkan, muncul satu video dari Agus Mulyadi—penulis asal Magelang—yang entah kenapa berhasil mengetuk pintu masa kecil saya. Dalam video itu, ia bercerita tentang jurus totok, sebuah jurus silat khayalan anak-anak yang mampu melumpuhkan siapa saja hanya dengan satu sentuhan di leher sambil berteriak, “TOTOK!”

Lucunya, semua anak patuh. Siapa pun yang kena jurus ini harus langsung berhenti bergerak. Diam. Kaku. Seolah-olah betul-betul kena tenaga dalam.

Mendengar ceritanya, saya langsung tersenyum. Bukan karena ingat Agus, tapi karena saya pun pernah mengalami hal yang sama. Dan barangkali, banyak dari kita juga pernah. Entah di gang sempit kampung, lapangan tanah, atau halaman sekolah dasar. Tanpa disadari, kita semua pernah tunduk pada satu bentuk kebodohan kolektif—yang justru membuat kita bahagia.

Anak-anak hidup dalam dua dunia sekaligus: dunia nyata dan dunia permainan. Tapi justru di dunia permainan itu, mereka menemukan keteraturan yang lebih bisa mereka pahami.

Jurus totok bekerja bukan karena punya efek medis, tapi karena kita sepakat bahwa ia harus bekerja. Ini mirip dengan hukum simbolik dalam masyarakat dewasa, tapi dengan skala yang lebih jujur dan tanpa pamrih.

Anak-anak tidak berdiskusi tentang aturan main, tidak menyusun peraturan tertulis. Tapi semua berjalan dengan keteraturan yang mengejutkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengatur peran masing-masing. Ini bukan hukum positif, bukan pula hukum agama. Ini adalah hukum permainan, dan semua tunduk padanya.

Dalam hal ini, permainan anak-anak justru bisa lebih filosofis ketimbang kebanyakan diskusi kita hari ini. Karena ia tidak dibangun oleh motif keuntungan, melainkan oleh kebutuhan untuk tertawa bersama, menciptakan dunia yang bisa mereka pahami, dan yang lebih penting: bisa mereka kendalikan.

Sekilas memang tampak bodoh. Apa enaknya berpura-pura lumpuh hanya karena disentuh teman? Tapi justru di situlah letak keindahannya. Kebodohan yang disepakati bersama bisa melahirkan kebahagiaan yang tulus.

Kita tidak sedang berpura-pura karena takut, tapi karena ingin ikut serta. Ingin menjadi bagian dari kegembiraan itu. Dan mungkin, dalam skala yang lebih luas, bukankah kita juga melakukan itu sampai hari ini?

Kita ikut tren meskipun tahu itu tidak penting. Kita mengikuti aturan sosial tertentu meskipun tidak selalu masuk akal. Kita memakai simbol, bahasa, bahkan gaya hidup, hanya karena ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Bedanya, sekarang tidak lagi dengan riang. Tidak lagi sepenuh hati.

Karena kita terlalu serius untuk tertawa. Terlalu logis untuk bermain. Terlalu dewasa untuk bersepakat dalam kebodohan.

Barangkali itulah yang pelan-pelan hilang dari kehidupan dewasa: kemampuan untuk menertawakan diri sendiri. Saat kecil, kita bisa kaku berdiri di bawah pohon karena ditotok, lalu tertawa bareng-bareng setelahnya. Tapi saat dewasa, kita justru tegang karena aturan yang kita ciptakan sendiri. Kita terjebak dalam keseriusan yang kita bangun dengan susah payah—yang malah membuat kita letih.

Dan mungkin, hanya mungkin, kebahagiaan bukanlah hasil dari pencapaian, melainkan hasil dari kemampuan untuk ikut serta—meski dalam permainan yang tidak masuk akal. Seperti jurus totok.

Dalam akhir videonya, Agus Mulyadi tidak hanya mengajak kita bernostalgia, tetapi juga berpesan:

"Rawatlah pertemanan dengan orang-orang pandai yang rela bersikap bodoh, hanya demi menjaga kebahagiaan kita yang bodoh."

Pesan yang terdengar sepele, tapi sesungguhnya dalam. Karena hidup tidak selalu tentang siapa yang paling pintar atau paling benar. Tapi siapa yang bersedia menyederhanakan logikanya demi tertawa bersama.

Mungkin itu bentuk paling jujur dari cinta. Dan barangkali, itu juga salah satu rahasia kebahagiaan.


© khafi.id