Misteri Soliter dan Buku yang Tak Pernah Terbeli

Dalam perjalanan itu, saya mampir ke sebuah toko buku yang konon cukup terkenal: Sosial Agency, kalau ingatan saya tidak keliru, di Bilangan
“We are traveling in a story we don’t know the ending of.”
"Kita sedang melakukan perjalanan dalam sebuah cerita yang ujungnya tak kita ketahui."
– Jostein Gaarder, The Solitaire Mystery

Sekitar tahun 2005 atau mungkin 2006, saya pernah “bermain” ke Jogja. Bukan untuk liburan. Itu masa-masa peralihan: dari kelas 3 Aliyah menuju dunia baru yang disebut kuliah. Saya sempat berharap bisa kuliah di Jogja—kota yang dari jauh tampak seperti pelabuhan bagi banyak mimpi. Tapi seperti halnya banyak harapan lain, ia tinggal harapan. Tak tercapai, dan lama-lama menjadi bagian dari narasi yang ditertawakan waktu.

Dalam perjalanan itu, saya mampir ke sebuah toko buku yang konon cukup terkenal: Sosial Agency, kalau ingatan saya tidak keliru, di Bilangan Jl. Laksda Adi Sucipto. Di sanalah saya melihat sebuah buku dengan judul yang asing tapi menggelitik: Misteri Soliter.

Saya tidak tahu isinya. Tapi entah mengapa, saya merasa buku itu sedang memanggil saya. Mungkin karena waktu itu saya pun sedang dikepung misteri: tentang hidup, masa depan, dan ke mana harus melangkah. Tapi dompet berkata lain. Uang saku mepet. Perjalanan belum selesai. Maka saya tahan niat itu. Buku itu tetap di rak, dan saya berlalu—dengan kepala yang tetap menoleh ke belakang.

Bertahun-tahun setelahnya, saya baru tahu bahwa Misteri Soliter adalah karya Jostein Gaarder, penulis yang lebih dulu dikenal lewat Dunia Sophie. Ceritanya mengikuti Hans Thomas, bocah dua belas tahun yang melakukan perjalanan bersama ayahnya dari Norwegia ke Yunani, mencari ibunya yang lama menghilang. Dalam perjalanannya, ia mendapat kaca pembesar dari orang asing dan roti yang menyimpan buku kecil. Buku itu bercerita tentang pelaut yang terdampar di sebuah pulau tempat para tokohnya adalah kartu remi hidup—Raja, Ratu, Joker, dan lainnya.

Di pulau itu, semuanya terlihat nyata, tapi juga ganjil. Seolah dunia yang ia tinggali sedang mempertanyakan dirinya sendiri. Seolah dongeng sedang diam-diam menguliti kenyataan.

“It is not we who are searching for the truth, but the truth that is searching for us.”
"Bukan kita yang mencari kebenaran, tetapi kebenaranlah yang sedang mencari kita."
– Jostein Gaarder


Itulah yang dirasakan Hans. Itulah juga yang diam-diam saya rasakan di toko buku sore itu.

Di tengah perjalanan dan percakapan ayah-anak yang sederhana namun filosofis, pembaca diajak untuk kembali bertanya: Siapa kita? Dari mana kita datang? Apa arti semua ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak dijawab dengan doktrin, tapi dengan keajaiban. Dengan kisah kecil yang tampaknya sederhana, tapi justru karena itu terasa begitu jujur. Seperti hidup.

“Sometimes we have to go on a long journey to find out what is near.”
"Kadang kita harus menempuh perjalanan panjang hanya untuk menemukan apa yang sebenarnya dekat."

Dan saya pun menyadari: mungkin saya tak perlu benar-benar memiliki buku itu untuk memahami artinya. Mungkin yang membuat buku itu begitu melekat justru karena saya tak pernah berhasil membelinya.

Sebagian hal dalam hidup memang seperti itu. Tidak semua yang kita rindukan harus kita genggam. Ada yang cukup dikenang dari jauh. Dan justru karena tidak dimiliki, ia jadi lebih jernih dalam ingatan.

Saya membayangkan Hans Thomas duduk di pinggir kapal, memandangi laut sambil menggenggam buku mini dari roti. Lalu saya memikirkan diri saya sendiri—seorang santri kampung, berdiri di depan rak buku Sosial Agency, memandangi sebuah judul yang tak sempat saya bawa pulang. Tapi saya tahu: saya sedang membaca sesuatu. Mungkin bukan halaman, tapi pengalaman.

“What is a joker? The joker is someone who sees things differently.”
"Apa itu Joker? Joker adalah seseorang yang melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda."

Dan mungkin, dalam perjalanan ini, saya tak sedang gagal. Saya hanya sedang membaca dunia dari sudut yang berbeda.

Kita sedang melakukan perjalanan dalam sebuah cerita yang ujungnya tak kita ketahui.

Dan Misteri Soliter—meski tak pernah terbeli—sudah lebih dulu ikut menuliskan bab kecil dalam cerita saya.
© khafi.id