Pemberontakan yang Diperdagangkan


Ada masa ketika pemberontakan berarti risiko yang sungguh nyata. Menolak sistem sama dengan menyerahkan diri pada kemungkinan dicurigai, diasingkan, kehilangan pekerjaan, bahkan ditindas secara fisik. Pada masa itu, simbol-simbol perlawanan—poster, pamflet, kaos, spanduk—bukan sekadar hiasan, melainkan alat perjuangan yang lahir dari keresahan yang nyaris tanpa tempat di ruang publik.

Namun, zaman berubah lebih cepat daripada yang disadari banyak orang. Ketika konsumerisme tak lagi hanya menargetkan kebutuhan praktis, melainkan juga lapar terhadap simbol dan identitas, pemberontakan pun berubah menjadi komoditas. Gagasan yang dulu menakutkan kini disulap menjadi citra yang aman dikonsumsi.

Joseph Heath dan Andrew Potter dalam The Rebel Sell sudah menegaskan bahwa budaya kontra tidak pernah benar-benar mengancam konsumerisme. Justru sebaliknya, ia adalah bahan bakarnya. Orang-orang membeli kaos dengan gambar Che Guevara bukan karena ingin memimpin revolusi, melainkan karena gambar itu menegaskan identitas diri yang sedikit lebih berani dibanding tetangganya.

Pemberontakan menjadi industri kecil yang tumbuh di celah antara rasa bosan dan kebutuhan akan pengakuan. Generasi yang tumbuh dalam internet menemukan cara baru untuk menegaskan diferensiasi—lewat hashtag protes, konten edukasi politik yang viral, dan berbagai ekspresi kritik yang sengaja dibungkus agar ramah algoritma.

Persoalannya bukan semata pada fakta bahwa simbol perlawanan diperjualbelikan. Masalah yang lebih dalam adalah bagaimana komodifikasi kritik mereduksi keberanian menjadi performa, mengubah komitmen menjadi gaya hidup sementara, dan menggantikan keberpihakan tulus dengan estetika protes yang bisa dipakai atau dilepas kapan saja.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di luar negeri. Di Indonesia, gejalanya muncul dengan pola yang tak kalah canggih. Kaos bertuliskan “Lawan” atau “Revolusi” diproduksi ribuan potong, lalu dijual di marketplace seharga ratusan ribu rupiah. Konsumennya kebanyakan anak muda urban yang ingin tampil progresif tanpa mempersoalkan apa yang sebenarnya dilawan. Dalam festival literasi, totebag dengan kutipan “Melawan Demi Kemanusiaan” dijual sebagai souvenir eksklusif. Zine-zine yang dulu dicetak fotokopi seadanya, kini dibungkus dalam paket stiker dan pin edisi terbatas.

Distro-distro yang menjamur di kota-kota besar Indonesia juga menampilkan paradoks serupa. Awalnya, distro tumbuh sebagai ruang alternatif. Namun semakin besar antusiasme pasar, semakin cepat semangat perlawanan diubah menjadi produk komersial. Kaos simbol anarkis diproduksi ribuan potong, dipajang di etalase yang tak jauh beda dengan butik konvensional. Diferensiasi yang lahir dari penolakan kapitalisme justru menjadi komoditas paling laku.

Di ruang media sosial, dinamika ini makin kentara. Aktivis digital bermunculan dalam skala masif. Kritik menjadi snackable content: video 30 detik yang penuh retorika lalu cepat dilupakan. Publik lebih tertarik pada intensitas emosi ketimbang ketekunan argumen.

Workshop aktivisme pun mulai bermunculan. Dengan biaya pendaftaran ratusan ribu hingga sejuta rupiah, peserta membeli sensasi “terlibat” tanpa risiko berarti. Pengetahuan radikal berubah menjadi jasa eksklusif yang tidak lagi membumi.

Korporasi besar tak mau ketinggalan. Banyak brand memanfaatkan retorika perlawanan sebagai strategi marketing. Ada iklan kopi sachet yang menampilkan anak muda menolak “aturan lama.” Ada kampanye pakaian bertema “Break the Rules,” padahal produsennya konglomerat.

Punk menjadi contoh klasik lain. Gerakan yang dulu identik dengan penolakan konsumerisme kini berubah menjadi estetika fesyen populer. Kaos compang-camping bergambar band punk dijual ratusan ribu rupiah di butik hypebeast. Semakin populer simbol perlawanan, semakin pudar maknanya.

Ironinya, kapitalisme justru semakin kuat ketika ia berpura-pura terbuka terhadap kritik. Pasar bersedia menjual apa saja—termasuk retorika anti-pasar—selama itu membuat konsumen merasa istimewa.

Mungkin inilah yang paling berbahaya dari pemberontakan yang menjadi komoditas populer. Ia menciptakan ilusi keterlibatan. Membeli totebag “Climate Strike” memberi sensasi “berkontribusi.” Aktivisme menjadi ritual cuci tangan kolektif. Kritik sosial menjadi warna-warni yang ramah layar ponsel, lalu cepat hilang dari ingatan.

Apakah semua bentuk komodifikasi pasti buruk? Tidak selalu. Kadang distribusi simbol kritik memperluas jangkauan pesan. Namun kapitalisme punya kemampuan luar biasa menyerap lawan menjadi bagian dari mesin yang sama. Alih-alih meruntuhkan dominasi pasar, pemberontakan yang dijual massal hanya memperpanjang umurnya.

“The simulacrum is never what hides the truth—it is truth that hides the fact that there is none.”
—Jean Baudrillard

Pada akhirnya, barangkali yang paling radikal hari ini bukan lagi sekadar berani berbeda, tetapi berani tidak menjadikan keberanian itu sebagai dagangan.