Seni Itu Indah, Tapi Tidak untuk Saya

Saya tidak ingin meremehkan karya seni. Hanya saja, saya sering merasa kesulitan untuk menikmatinya. Lukisan, tari, patung, atau pertunjukan seni lainnya, kadang terasa seperti bahasa asing yang tidak saya kuasai. Saya tahu bahwa di balik setiap karya, ada proses panjang, ada pergulatan batin, ada teknik dan disiplin yang tak ringan. Tapi apakah semua itu cukup untuk membuat seseorang bisa menikmatinya?
Lukisan Picasso, misalnya. Banyak orang sepakat bahwa ia adalah salah satu pelukis jenius sepanjang masa. Saya tidak meragukan itu. Picasso bukan pelukis sembarangan. Tapi jujur saja, saya tidak bisa melihat apa-apa dalam lukisan-lukisannya. Saya pernah melihat beberapa karyanya—tentu saja lewat Google—dan tetap tidak ada yang menggugah. Wajah-wajah yang retak, bentuk yang terdistorsi, warna yang tabrak lari. Saya tidak tahu di mana letak kedalaman itu. Saya tidak melihat "pesan", sebagaimana yang kerap dibicarakan orang-orang.
Tapi barangkali, itu karena saya terlalu berharap pada pesan.
Saya sempat membaca, Martin Heidegger pernah mengatakan bahwa seni bukan tentang menyampaikan pesan, melainkan tentang menghadirkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi. Dalam karya seni, menurut Heidegger, dunia dibuka. Ia tidak selalu bisa dimengerti secara logis, karena ia bekerja di wilayah yang lebih dalam dari logika—yakni wilayah keberadaan, wilayah pengungkapan. Maka wajar jika seni tidak selalu bisa dimengerti, karena ia tidak datang untuk dijelaskan. Ia datang untuk dialami.
Itu menjelaskan banyak hal. Termasuk rasa bingung saya di depan lukisan, atau kegagalan saya menangkap makna dari sebuah pertunjukan tari kontemporer. Saya mungkin terlalu terbiasa mencari “arti”, padahal yang dihadirkan oleh seni bukanlah arti, melainkan kehadiran. Sebuah kehadiran yang tidak bisa dikecilkan menjadi penjelasan. Sebuah pembukaan dunia, yang mungkin belum saya siap masuki.
Dan justru karena itu, saya mulai merasa: mungkin bukan seni yang sulit, tapi saya yang masih terpaku pada logika.
Karena jika seni diminta untuk selalu menjelaskan dirinya, ia kehilangan kediamannya yang paling dalam. Ia menjadi seperti iklan—berteriak, memikat, menyuruh. Padahal seni bukan itu. Seni tidak memaksa. Ia hanya membuka. Persis seperti malam. Ia tidak meminta kita mengerti gelapnya, hanya menawarkan sunyi kepada siapa saja yang rela duduk diam.
Saya tahu, ada orang-orang yang sangat tersentuh oleh karya seni. Mereka bisa menangis di depan lukisan, atau terdiam usai menyaksikan pertunjukan. Dan saya? Saya hanya berdiri, mencoba meraba-raba, seringkali tanpa hasil. Tapi saya mulai berdamai. Karena bisa jadi, pengalaman estetik manusia memang tidak seragam. Dan bisa jadi, seni sedang mengetuk dengan caranya sendiri—pelan, tapi pasti.
Heidegger pernah menulis bahwa karya seni adalah tempat di mana kebenaran "terjadi". Tapi kebenaran di sini bukan semacam pernyataan yang bisa diuji, melainkan suatu momen pengungkapan. Suatu saat, mungkin saya akan mengalami momen itu—di depan lukisan, atau mungkin di luar lukisan. Mungkin di sawah. Mungkin di suara burung yang lewat cepat. Atau mungkin dalam keheningan, di mana saya tidak paham apa-apa, tapi merasa sedang berada di tempat yang benar.
Maka saya tidak lagi terburu-buru ingin mengerti. Saya cukup ingin hadir. Duduk diam di depan sesuatu yang saya tidak paham, dan membiarkannya tetap tak terjelaskan. Karena barangkali, itulah saat seni sedang bekerja.
Saya mungkin belum bisa menikmati seni seperti orang lain. Tapi saya mulai percaya bahwa seni tidak selalu meminta untuk dinikmati. Ia hanya ingin disediakan ruang. Dan selama kita masih mau membuka ruang itu—dalam diri yang terbiasa berpikir, bertanya, dan tak menemukan jawaban—seni akan tetap menemukan jalannya. Entah lewat kanvas, lewat tubuh yang menari, atau lewat keheningan yang akhirnya membukakan dunia.
Lagipula, kata seorang teman, “Untuk memahami seni, orang harus sejahtera dulu.”
Dan saya pun tertawa. Barangkali benar juga. Mungkin karena saya belum sejahtera, maka belum bisa menikmati seni.
Atau jangan-jangan, karena hidup sendiri sudah terlalu abstrak, saya jadi sulit menikmati keabstrakan yang lain.
© khafi.id
Join the conversation