Tandur: Ditata Karo Mundur

Ada banyak hal yang kita lewati begitu saja karena dianggap biasa. Salah satunya: bagaimana para petani menanam padi.
Di Jawa, pekerjaan itu disebut tandur. Kata ini bukan hanya soal aktivitas fisik mencelupkan benih ke lumpur. Ia datang bersama petunjuk yang nyaris seperti doa: “tandur iku ditata karo mundur.”
Artinya sederhana—benih ditanam sambil berjalan mundur. Tapi di balik gerakan itu, ada laku batin yang tak sederhana.
Sebab orang Jawa, seperti biasa, menyisipkan kebijaksanaan dalam hal-hal yang tampak sepele. Bahkan urusan sawah pun jadi ruang belajar hidup.
Mundur, dalam dunia modern, sering dianggap sebagai kegagalan. Tak mampu bersaing. Ketinggalan zaman. Tapi tandur justru mengajarkan yang sebaliknya. Bahwa untuk menata yang baru, kita justru harus berani mundur. Agar tak merusak yang sudah ditanam. Agar benih punya ruang tumbuh. Agar langkah kita tidak arogan.
Kita bisa membayangkan: bagaimana seandainya para pemimpin, para pebisnis, bahkan diri kita sendiri, belajar dari tandur? Bahwa menata masa depan bukan soal menerobos apa pun yang ada di depan, tapi kadang justru butuh mengalah sebentar, menengok belakang, menyesuaikan langkah, dan berjalan pelan.
Tapi kita hidup di zaman yang tidak sempat mundur. Semua harus cepat. Semua harus viral. Semua harus terus maju, meski tidak tahu ke mana arahnya. Bahkan jika itu berarti menginjak benih yang belum tumbuh, atau menyapu bersih ladang yang belum siap panen.
Barangkali, itulah mengapa kebijaksanaan lokal seperti tandur mulai kehilangan suara. Ia tak sempat lagi didengar di tengah bisingnya promosi, target, dan algoritma. Kita terlalu sibuk mengejar kemajuan, hingga lupa menengok lumpur yang dulu jadi dasar hidup.
Kalau kita mau jujur, kehidupan tak lahir dari seminar. Ia tumbuh dari lumpur.
Dari tangan-tangan yang tak pernah masuk berita. Dari tubuh-tubuh yang membungkuk tanpa sorotan kamera. Mereka yang menanam, bukan hanya padi, tapi juga ketahanan. Mereka yang diam-diam menjaga agar meja makan kita tidak kosong.
Dalam foto yang sederhana itu—perempuan-perempuan desa, menanam sambil mundur—tersimpan pelajaran yang lebih tulus dari semua jargon pemberdayaan. Tak ada spanduk, tak ada program unggulan, tak ada tepuk tangan. Hanya lumpur, matahari, dan kehendak yang sabar.
Kita terlalu sering memuja yang bersih dan rapi. Tapi lupa bahwa hidup tumbuh dari tanah yang kotor. Kita bangga pada gedung tinggi dan pasar digital, tapi tak kenal siapa yang menanamkan beras di piring kita.
Ironisnya, yang paling dekat dengan tanah justru yang paling jauh dari pengakuan.
Di tengah bisingnya perdebatan tentang emansipasi dan kesetaraan gender, mungkin kita perlu sejenak menengok ke desa-desa.
Sebab jika para pemikir sibuk menyusun teori dan rumusan besar tentang perempuan, desa justru diam-diam sudah lebih dulu menjalani itu semua—tanpa dikotomi, tanpa jargon.
Lihatlah perempuan-perempuan yang turun ke sawah. Mereka bukan pelengkap, bukan tenaga cadangan, bukan sekadar "membantu suami". Mereka berdiri setara. Menanam, memikul, menjemur, menjual. Semua dijalani bersama laki-laki—dengan porsinya, dengan perannya, dengan kehormatannya.
Di desa, kesetaraan tidak lahir dari wacana, tapi dari kebutuhan hidup yang dijalani bersama. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, hanya karena jenis kelamin. Yang ada adalah siapa yang bisa diandalkan ketika musim datang dan perut harus diisi.
Tentu perjuangan kaum feminis tetap penting, terutama untuk membongkar ketimpangan struktural yang sering menindas perempuan. Tapi kita juga tak boleh lupa bahwa di tempat-tempat yang tampak sederhana, banyak perempuan sudah menjalani peran vitalnya dengan utuh—tanpa perlu banyak nama, tanpa perlu banyak suara.
Mereka tidak punya panggung. Tapi mereka menopang panggung kehidupan kita.
Kehidupan juga tidak semata-mata lahir dari bangku-bangku kuliah dan nilai IPK.
Ilmu pengetahuan memang penting. Gelar dan angka mungkin punya tempatnya. Tapi mereka tak bisa menggantikan kebijaksanaan yang tumbuh dari tanah. Tidak bisa menggantikan kepekaan yang datang dari kerja yang sabar dan diam.
Apa arti pendidikan jika tak bisa membuat kita menunduk hormat pada petani yang menanam nasi kita? Apa guna gelar, jika kita tak bisa membedakan mana kesuksesan, mana keserakahan?
Di desa-desa, perempuan-perempuan menanam padi tanpa pernah menuliskan makalah. Tapi dari mereka, kita bisa belajar banyak hal: tentang ketekunan, tentang keteraturan, tentang bagaimana hidup itu sebenarnya tidak perlu tergesa-gesa.
Tandur itu tidak hanya tentang menanam padi. Ia adalah cermin dari hidup yang ditata pelan-pelan. Dari cara manusia menghormati tanah, waktu, dan rezeki. Dari keberanian untuk mundur, supaya sesuatu bisa tumbuh di depan.
Mungkin sudah saatnya kita belajar dari tandur.
Dari kesabaran yang tidak tampil.
Dari kerja yang tidak dipamerkan.
Dari mundur yang justru jadi cara paling jernih untuk menata masa depan.
©khafidh