Hanya Suara Rakyat yang Tidak Perlu Bayar Royalti

Beberapa hari terakhir, lini masa kita penuh dengan keluhan. semua membicarakan hal yang sama: negara semakin rajin memungut.

Beberapa hari terakhir, lini masa kita penuh dengan keluhan. Dari warung kopi hingga Facebook, dari pedagang kaki lima hingga pemilik kafe bintang lima, semua membicarakan hal yang sama: negara semakin rajin memungut.

Kali ini, yang jadi bintang adalah LMKN — Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Katanya demi melindungi hak cipta musisi. Nyatanya, rakyat melihatnya seperti pajak dengan nama lain. Apalagi saat yang diputar cuma lagu dari YouTube, tapi tetap kena pungutan. Logikanya seperti beli bakso di warung, tapi harus bayar lagi ke pabrik pembuat mie karena dianggap “makan di ruang publik”.

Yang lebih absurd, ternyata memutar lagu Indonesia Raya pun bisa dihitung royalti, tergantung di acara apa. Kalau untuk upacara kenegaraan atau pendidikan, bebas. Tapi kalau masuk ranah komersial, masih ada celah pungutan. Bahkan memutar suara alam pun bisa. Hujan, ombak, burung berkicau—semua bisa jadi sumber royalti, asalkan ada rekamannya yang dimiliki label atau individu. Seolah-olah negara ingin bilang: “Alam memang milik Tuhan, tapi rekamannya milik kami.”

Masalahnya bukan hanya pada besarnya pungutan. Masalahnya adalah rasa percaya yang sudah lama hancur. Pejabat negara kita terlalu sering memberi contoh buruk: korup, gemar memungut, minim transparansi. Rakyat sudah hafal polanya — pungutan baru jarang berarti kebaikan baru.

Lalu, di luar LMKN, ada pajak. Setiap hari muncul wacana baru, aturan baru, dan tarif baru. Sementara utang negara makin menumpuk seperti cucian kotor yang tak kunjung dicuci. Rakyat pun bertanya-tanya: semua ini untuk siapa?

Di atas semua itu, ada pejabat yang tetap melenggang. Tidak hanya aman dari jeratan hukum, tapi juga semakin kaya. Konon ketua lembaga ini pun hidup makmur, kontras dengan nasib musisi indie yang katanya dilindungi. Seperti pajak kemarin: rakyat yang tertib ditekan, sementara koruptor tetap bebas berjalan di karpet merah.

Kita tahu, di atas kertas, ada niat baik: hak cipta perlu dilindungi, kas negara perlu diisi. Tapi di tangan yang salah, niat baik itu berubah jadi kantong baru yang siap diisi — bukan oleh rakyat, tapi oleh mereka yang sudah kenyang.

Mungkin inilah tiga saudara yang paling rajin menyapa rakyat: Royalti, Pajak, dan Utang. Ketiganya selalu hadir tepat waktu, lengkap dengan surat tagihan. Dan kita, seperti biasa, hanya diberi satu pilihan: membayar sambil mengeluh.

Mungkin nanti akan tiba masa di mana suara nafas kita pun dikenai tarif, selama ia terekam dan bisa dijual. Dan ketika rakyat mulai bertanya, pejabat akan menjawab: ini demi keadilan. Keadilan siapa? Entahlah. Mungkin keadilan versi mereka yang tak pernah tahu rasanya hidup dengan gaji harian, tapi lihai menagih dari segala sisi.

Dan seperti biasa, kalau kita protes, jawabannya simpel: “Taat hukum dong.” Padahal hukum, seperti royalti dan pajak hari ini, sudah terlalu sering jadi alat tukar kekuasaan. Maka jangan heran jika pada akhirnya, rakyat pun mulai berhitung: berapa biaya menjadi warga negara, dan berapa harga untuk tetap waras di negeri yang terus-menerus memungut tapi enggan mengurus.

© khafi.id