Kemerdekaan bagi Saya
![]() |
“Kemerdekaan yang hanya dimiliki segelintir elit bukanlah kemerdekaan sejati.”
— Tan Malaka
Kemerdekaan bagi saya bukanlah kebebasan untuk melakukan apa saja, melainkan kemampuan untuk menolak apa yang tidak kita mau. Sebab, kadang yang mengikat kita bukan lagi rantai besi, melainkan cicilan bulanan, gengsi sosial, dan rasa takut dianggap “tidak sukses” di mata orang lain.
Kita sering diceritakan bahwa dulu para pejuang mengorbankan nyawa demi kemerdekaan. Lalu, setelah itu, giliran kita mengorbankan kesehatan demi kerja lembur, mengorbankan waktu bersama keluarga demi target perusahaan, bahkan mengorbankan prinsip demi kenyamanan hidup. Di atas kertas, kita merdeka. Di kenyataan, kita masih harus izin pada banyak “penjajah” — bos, pasar, birokrasi, atau bahkan diri sendiri yang selalu merasa kurang.
Tan Malaka meyakini bahwa kemerdekaan harus utuh — 100% — mencakup kedaulatan politik, kemakmuran ekonomi, dan pembebasan pikiran. Kalau yang merdeka hanya mereka yang duduk di kursi empuk, sementara rakyat tetap harus berjuang dari pagi hingga malam demi sekadar hidup, maka itu bukan kemerdekaan, melainkan pergantian tuan.
Kemerdekaan hari ini pun sering dijual dalam bentuk paket: paket data, paket liburan, paket investasi. Semua dibungkus rapi dengan slogan “bebas memilih”, padahal pilihan kita sudah diarahkan dari awal. Seolah-olah kita sedang memilih jalur di peta, padahal semua jalannya berujung ke kasir yang sama.
Kadang, kemerdekaan kita juga seperti berada di WC umum: kita bebas melakukan apa pun di dalam, tetapi tetap harus ingat ada orang yang menunggu antrean di luar. Kita mungkin berhasil merdeka dari satu hal, namun masuk ke dalam penjajahan yang lain. Hanya saja, kali ini pintu dan kuncinya kita yang pegang, sehingga kita merasa seolah benar-benar bebas.
Mungkin benar kata Tan Malaka, kemerdekaan itu harus juga memerdekakan pikiran — membebaskan kita dari rasa takut, dari kebodohan yang sengaja dipelihara, dan dari kepercayaan bahwa hidup layak hanya bisa datang dari “atas”. Sebab kalau pikiran masih terjajah, kita akan terus merasa bebas meski sedang diikat.
Pada akhirnya, kemerdekaan mungkin bukan sesuatu yang sudah lunas kita miliki, tapi utang yang harus kita bayar terus setiap hari. Bedanya, Tan Malaka mengingatkan bahwa cicilan itu tidak akan pernah lunas jika kita hanya menunggu belas kasihan “pemilik modal” dan “pemilik kuasa”. Dan kita, entah sadar atau tidak, masih sering pura-pura merayakannya di depan tiang bendera.
Jadi pertanyaannya: apakah kita benar-benar merdeka, atau hanya ikut memainkan peran dalam sandiwara kemerdekaan yang diwariskan turun-temurun? Jika jawabannya masih samar, mungkin itulah tanda bahwa kita belum sepenuhnya keluar dari masa penjajahan — hanya saja kali ini, benderanya sudah berganti warna.
Join the conversation