Kemerdekaan yang Omong Kosong
Tidak sepakat pada keputusan negara, tidak serta-merta berarti tidak cinta tanah air. Karena pejabat bukanlah perwujudan dari Indonesia.
Setiap tanggal 17 Agustus, kita menyaksikan semangat nasionalisme yang digerakkan secara massal. Lagu-lagu patriotik berkumandang, bendera dikibarkan di mana-mana, dan pidato-pidato membanjiri layar kaca. Tapi di tengah gegap gempita itu, terselip pertanyaan yang semakin hari semakin sulit ditepis: apakah kita benar-benar merdeka?
Kemerdekaan yang kita rayakan, kadang terasa seperti rutinitas kosong. Seremonial yang diulang setiap tahun, tanpa pernah menyentuh kenyataan hidup yang dialami banyak orang. Lalu muncullah berbagai ekspresi kegelisahan, salah satunya yang cukup menarik adalah tren pengibaran bendera bajak laut dari serial One Piece: bendera Jolly Roger.
Bagi sebagian orang, mungkin ini cuma tren anak muda yang kebanyakan nonton anime. Tapi kalau mau jujur, di balik kelakar itu, ada sesuatu yang jauh lebih dalam. Mungkin itu semacam simbol pembangkangan kecil terhadap kemerdekaan versi negara. Kemerdekaan yang katanya milik semua, tapi hanya bisa dinikmati oleh mereka yang sudah kenyang dan punya koneksi.
Dan jika akhirnya banyak dari kita memilih mengibarkan bendera bajak laut, mungkin bukan karena kita ingin menjadi pemberontak. Tapi karena kita lelah menjadi warga negara yang pura-pura merdeka. Lelah dipaksa mencintai simbol, sementara isi perut kosong dan suara hati dibungkam. Kita tahu, cinta tidak bisa dipaksa, apalagi dibeli dengan seremonial dan baliho ucapan syukur kemerdekaan yang penuh logo sponsor.
Dan barangkali, ini perlu menjadi catatan penting bagi siapa pun yang masih sempat merasa punya kuasa atas cinta kami pada negeri ini: kami mencintai Indonesia—sungguh, kami mencintai Indonesia. Tapi itu tidak berarti kami harus mencintai kebijakan yang menindas, sistem yang merampas, atau pejabat yang hanya tahu bicara tanpa mendengar. Ketika kami mengkritik, bukan karena kami benci. Tapi karena kami peduli.
Tidak sepakat pada keputusan negara, tidak serta-merta berarti tidak cinta tanah air. Karena pejabat bukanlah perwujudan dari Indonesia. Indonesia terlalu besar, terlalu luhur, untuk direduksi ke dalam satu atau dua orang pemegang jabatan. Indonesia hidup dalam napas para petani yang tetap menanam meski gagal panen. Dalam peluh guru-guru yang mengajar di sekolah reyot. Dalam doa-doa diam ibu yang tidak sempat ikut upacara, karena harus jualan pagi-pagi.
Indonesia ada di situ. Bukan di panggung pidato. Bukan di barisan pengawal bersenjata. Tapi di hati mereka yang tetap bertahan, meski hidup tak berpihak.
Jadi jika kami memilih tertawa bersama bajak laut fiktif ketimbang bertepuk tangan di upacara formal, bukan karena kami tidak cinta Indonesia. Tapi karena kami mulai jenuh dengan cara para pemegang kuasa memaksa kami mencintainya—dengan cara mereka, untuk kepentingan mereka, atas nama kami.
Maka, bisa jadi kemerdekaan kita adalah kemerdekaan yang omong kosong.
© khafi.id
Join the conversation