18 Agustus Libur sebagai Hadiah: Ironi Negara Merdeka

Lucu juga. Di negara yang sudah 80 tahun merdeka, rakyatnya masih diberi libur seperti anak sekolah yang dapat nilai bagus.
Beberapa waktu lalu, pemerintah mengumumkan bahwa Senin, 18 Agustus 2025 akan menjadi hari libur nasional tambahan. Alasannya cukup masuk akal—katanya supaya masyarakat bisa lebih leluasa merayakan kemerdekaan. Tapi ada satu kalimat dari pejabat yang mengumumkan itu yang cukup menarik, bahkan agak menggelikan.

"Libur nasional ini adalah hadiah kemerdekaan," katanya.

Hadiah. Ya, kamu tidak salah dengar. Libur—sesuatu yang secara naluriah seharusnya menjadi hak dasar manusia—disebut sebagai hadiah. Seolah-olah pemerintah sedang murah hati, membagikan kebaikan pada rakyat yang selama ini rajin bekerja dan jarang protes. Seolah-olah libur adalah kemurahan hati, bukan bagian dari sistem kerja yang adil.

Lucu juga. Di negara yang sudah 80 tahun merdeka, rakyatnya masih diberi libur seperti anak sekolah yang dapat nilai bagus.

Padahal, kalau dipikir-pikir, dalam sistem kerja modern yang sehat, libur bukan semacam bonus. Bukan pula penghiburan di tengah derita. Libur adalah cara manusia mempertahankan kewarasannya. Karena tubuh butuh jeda. Pikiran butuh tenang. Dan hidup tidak seharusnya terus-menerus dikejar produktivitas.

Tapi di negeri ini, logika feodal kadang muncul dalam bentuk-bentuk kecil seperti ini. Ketika libur disebut hadiah, maka istirahat pun berubah makna. Bukan lagi hal yang wajar, tapi kemurahan yang patut disyukuri. Rakyat diajak merasa beruntung karena boleh istirahat. Boleh tidur lebih lama. Boleh tidak datang ke kantor.

Ini bukan hal baru. Dalam sejarah kolonial, para pekerja pribumi dulu diberi hari-hari tertentu untuk beristirahat—bukan karena mereka dianggap manusia yang butuh jeda, tapi karena sistem butuh keseimbangan agar tenaga mereka tetap bisa dimanfaatkan lebih lama. Dan rupanya, warisan itu belum benar-benar hilang. Hanya dikemas lebih rapi. Diberi narasi nasionalisme. Dibalut pesta rakyat dan jargon semangat kemerdekaan.

Yang bikin sedih sekaligus lucu, masyarakat pun menerima itu semua dengan gembira. Bukan karena bodoh, tapi karena dalam kehidupan yang makin keras ini, sehari tanpa kerja adalah kemewahan. Bagi banyak orang, tidur delapan jam saja sudah mewah. Apalagi bisa duduk di rumah tanpa dihantui notifikasi pekerjaan.

Maka wajar jika saat diumumkan ada libur tambahan, banyak orang langsung tersenyum. Bukan karena mereka senang nasionalismenya membuncah, tapi karena akhirnya bisa bernapas tanpa merasa bersalah. Setidaknya sehari. Karena besok lusa, kerjaan akan datang lagi. Target akan menunggu lagi. Lembur akan menjemput lagi.

Di titik ini, kita patut bertanya: apakah kita benar-benar sudah merdeka? Atau hanya diberi kesempatan untuk berhenti sebentar, agar bisa kembali digiling dengan lebih patuh?

Ironi itu makin kental ketika libur diberi alasan tambahan: supaya masyarakat bisa ikut lomba dan karnaval. Supaya suasana perayaan terasa lebih semarak. Jadi, libur ini bukan semata untuk istirahat. Tapi untuk ikut meramaikan. Untuk menyemarakkan agenda negara. Lagi-lagi rakyat bukan subjek, tapi pelengkap acara.

Dan kalau kamu sekarang sedang kerja dari pagi sampai malam, dikejar target, diminta bersyukur karena “dikasih” libur sehari, mungkin kamu perlu tarik napas sebentar. Mungkin kita memang sudah merdeka di atas kertas, tapi belum benar-benar merdeka mengatur waktu hidup sendiri.

Tapi kalau kamu sedang tidak bekerja—alias pengangguran—jangan buru-buru merasa kalah. Jangan juga merasa terlalu gagal.

Sebab dalam logika hari ini, libur adalah kemewahan. Dan kamu—yang bangun siang tanpa izin atasan, tidur tanpa takut dipanggil rapat mendadak—mungkin justru manusia paling merdeka.

Meski ya…
bebas tanpa uang juga bentuk siksaan yang lain sih.
(Namanya juga financial freedom, kan? Hehehe…)
© khafi.id