Motivasi adalah Candu
Motivasi sering kita anggap sebagai bahan bakar utama untuk bergerak maju. Kita menontonnya di YouTube, membacanya di buku-buku pengembangan diri, bahkan mendengarkannya lewat podcast saat pagi hari. Rasanya seperti suntikan energi yang membuat kita bersemangat kembali. Namun, di balik manisnya, motivasi bisa menjadi candu yang membuat kita terlena.
Seperti candu, motivasi memberi efek cepat: hati bergetar, kepala penuh ide, dan mulut penuh janji. Tapi sering kali efek itu cepat menguap, meninggalkan kita di titik awal, atau bahkan lebih malas dari sebelumnya. Banyak orang terjebak dalam siklus mencari motivasi baru, alih-alih membangun kebiasaan yang membuat mereka tetap bergerak walau tanpa dorongan semangat sementara itu.
Kita tidak sadar, terlalu banyak mengonsumsi motivasi tanpa bertindak hanya membuat kita seperti penonton di pinggir lapangan. Kita tahu teori, hafal quotes, tapi kaki kita tak pernah benar-benar melangkah. Akhirnya, motivasi hanya menjadi hiburan—bukan pendorong perubahan.
Efek Candu yang Tak Disadari
Bayangkan seseorang yang setiap pagi mendengarkan pidato motivasi penuh energi. Ia merasa seperti pahlawan, siap menaklukkan dunia. Namun saat siang tiba, semangatnya luntur. Ia kembali mencari video motivasi baru. Lusa, hal yang sama terjadi. Inilah yang disebut motivational junkie—pecandu semangat yang hanya bertahan beberapa jam.
Kondisi ini mirip seperti minum kopi terlalu banyak. Awalnya segar, tapi lama-lama tubuh menjadi kebal. Yang dibutuhkan bukan lagi secangkir kopi, tapi dua, tiga, atau bahkan lebih. Motivasi pun begitu—semakin sering kita mencarinya tanpa tindakan nyata, semakin lemah efeknya.
Disiplin sebagai Obat Penawar
Jika motivasi adalah percikan api, maka disiplin adalah kayu bakar yang membuat api tetap menyala. Percikan saja tidak cukup untuk memasak atau menghangatkan tubuh. Kita perlu sesuatu yang menjaga nyala itu terus bertahan. Itulah peran disiplin—ia membuat kita tetap berjalan bahkan di hari-hari saat kita malas, bosan, atau merasa gagal.
Disiplin tidak selalu terasa menyenangkan. Ia seperti latihan fisik yang membuat otot pegal di awal, tapi pada akhirnya justru memperkuat. Bedanya, motivasi membuat kita ingin bergerak; disiplin memastikan kita bergerak, mau atau tidak mau.
Seorang pelukis, misalnya, bisa saja menunggu datangnya “mood” untuk berkarya. Tapi seniman sejati tahu, menunggu inspirasi adalah alasan untuk menunda. Mereka tetap duduk di depan kanvas, entah hasilnya indah atau tidak. Disiplinlah yang membuat mereka mampu berkarya konsisten, sehingga karya terbaik muncul bukan karena motivasi, tapi karena kebiasaan.
Konsistensi Mengalahkan Motivasi
Banyak orang sukses bukan karena mereka selalu bersemangat, melainkan karena mereka terus bergerak walau tanpa semangat. Atlet berlatih saat hujan, petani menanam meski panas, penulis mengetik meski pikiran buntu. Mereka tahu, gerak kecil yang konsisten jauh lebih berharga daripada ledakan semangat sesaat.
Maka, jangan habiskan terlalu banyak waktu mencari motivasi baru setiap hari. Gunakan motivasi sebagai pemantik awal, lalu segera ganti dengan rutinitas yang terukur. Buat target kecil, lakukan setiap hari, dan biarkan hasilnya bertumpuk.
Penutup: Istiqamah Lebih Baik dari Seribu Kemuliaan
Pada akhirnya, motivasi adalah candu jika kita meminumnya tanpa pernah bekerja. Ia hanya menjadi cerita indah yang tak pernah menjadi kenyataan. Tetapi jika kita menggunakannya bijak—sekadar pemantik—dan memadukannya dengan disiplin, ia akan menjadi alat yang berguna.
Maka yang paling penting bukanlah sekadar kata-kata motivasi, melainkan konsistensi. Sebab, sebagaimana ungkapan para ulama, "Al-istiqomatu khoiru min alfi karomatin" — istiqamah itu lebih baik daripada seribu kemuliaan.
Bergeraklah hari ini, meski pelan. Karena langkah kecil yang terus diulang akan mengalahkan lompatan besar yang hanya terjadi sekali.
Join the conversation