Negara Ini Dibangun di Atas Punggung Orang Miskin

Beban pajak rakyat kecil jauh lebih besar secara proporsional, meski negara sibuk melayani kelas atas yang justru lihai menghindarinya.

Pernahkah kita menghitung berapa pajak yang kita bayarkan dalam sehari?

Bukan pajak penghasilan, karena sebagian besar dari kita bahkan tidak tercatat sebagai wajib pajak resmi. Kita bicara soal pajak yang diam-diam disisipkan di setiap jengkal kehidupan: saat membeli gas melon 3 kilo, saat mengisi pulsa, saat menyeduh kopi instan dari warung, hingga saat membayar parkir liar yang entah masuk ke mana.

Dan semua itu sudah kena pajak. Pajak Pertambahan Nilai, katanya.

Orang-orang menyebutnya wajar. Bukankah semua orang harus ikut berkontribusi? Tapi jika dilihat lebih jujur, yang paling konsisten membiayai negara justru bukan para pemilik saham besar, bukan pemilik jet pribadi, apalagi para pejabat dengan segala fasilitas dinasnya. Justru rakyat kecil yang setiap hari “menyumbang” lewat konsumsi kecil-kecilan itulah yang menopang negeri ini.

Sementara orang kaya?

Jika bisnisnya rugi, ia tinggal mengatakan: "perusahaanku bangkrut." Pajaknya? Nol persen. Bahkan bisa klaim insentif. Jika harus melakukan perjalanan, semua biaya ditanggung negara atau perusahaan. Tiket pesawat, hotel, bahkan makan siang pun bisa ditagihkan.

Kita? Naik motor pinjaman, isi bensin sendiri (kena pajak juga), jajan sendiri, dan tetap dianggap belum cukup berkontribusi.


Dan bukan cuma itu.

Para kaya memiliki tanah luas berjuta meter, bahkan yang tidak mereka tempati. Pajaknya? Bisa dialihkan ke atas nama perusahaan atau yayasan. Ada celah, ada konsultan, ada koneksi. Sementara kita, rakyat kecil, tanah selidah saja—ukuran rumah petak 3x6—tetap harus bayar pajak sesuai NJOP.

Apakah itu sah? Ya. Sah dan legal.

Dan memang begitulah: hukum dan peraturan dibuat oleh, untuk, dan memudahkan mereka yang kaya dan punya jaringan. Kita hanya diminta patuh, bahkan ketika ketimpangan diciptakan atas nama kepatuhan.


Sistem ini bekerja diam-diam. Tidak ada pengumuman bahwa negara sedang memeras yang lemah. Yang ada adalah jargon-jargon manis: “pajak untuk pembangunan”, “pajak untuk kesejahteraan”, “pajak untuk Indonesia Maju.” Tapi kita semua tahu, jalan menuju kesejahteraan itu seringkali hanya bisa dilewati oleh mereka yang sudah sejahtera lebih dulu.

Dan rakyat kecil hanya bisa menonton dari pinggir, sambil tetap membeli gas melon bersubsidi yang makin hari makin sulit dicari. Tetap membayar PPN ketika membeli sabun, meski penghasilannya bahkan tak cukup untuk mencuci beban hidup.


Negara memang tak pandang bulu dalam menetapkan pajak. Tapi negara lupa satu hal: kita tidak memulai dari garis yang sama.

Ketika orang kaya bisa “menata” penghasilannya agar terlihat kecil di mata petugas pajak, rakyat kecil justru tak punya pilihan lain selain membayar harga yang ditawarkan—termasuk harga yang sudah diselipkan pajak di dalamnya.

Dan ironisnya, ketika para konglomerat berhasil menghindari pajak lewat celah hukum, kita malah disuruh bangga jadi pembayar pajak yang taat.


Maka, wajar jika hari ini banyak dari kita mulai lelah. Lelah ditagih terus-menerus, padahal tidak pernah benar-benar dilayani. Lelah menjadi tulang punggung negara yang hanya dipijat saat pemilu tiba. Lelah karena setiap kali negara kehabisan uang, yang pertama dicari adalah kantong rakyat kecil—bukan rekening pengemplang pajak.

Negara ini hidup dari rakyat kecil. Tapi seperti nasib para ibu di rumah, yang memasak, menyapu, mencuci, tapi tidak pernah disebut bekerja. Kontribusinya nyata, tapi tak pernah dihitung.

Dan ketika negara liburan ke luar negeri membawa rombongan pejabat, kita tetap tinggal di rumah—menunggu harga beras turun, berharap listrik tidak padam, dan berharap pajak berikutnya tidak makin menggila.

© khafi.id