Negara Ini Serius: Saat Kucing Mendapat Pengawalan Ketat

Bobby Kertanegara, kucing istana yang mendapat fasilitas mewah dari pajak rakyat, sementara rakyat tetap diminta taat.

Kalau hidupmu terasa tidak berharga, tidak berguna, jauh dari kemuliaan, jangan buru-buru putus asa. Cobalah jalani hidup sebagai kucing di Republik +62.

Sebab di negeri ini, menjadi rakyat jelata kadang hanya membuatmu jadi objek kebijakan yang setengah matang. Tapi menjadi seekor kucing—asal kucing yang tepat—hidup bisa melesat ke langit kemuliaan.

Lihatlah Bobby Kertanegara. Dari kucing domestik biasa, tiba-tiba naik kasta jadi kucing ningrat. Hidupnya penuh kemewahan. Ada stroller mewah yang harganya setara gaji UMR beberapa bulan. Ada pengawal pribadi, bahkan sampai polisi ikut berjaga. Jumlahnya bisa lebih banyak daripada tenaga medis di Puskesmas kecamatan.

Setiap langkah Bobby dijaga, setiap gerakannya direkam, dan setiap ekor yang bergoyang jadi rebutan warga untuk selfie. Para pejabat menunduk penuh hormat, seolah yang lewat bukan kucing, melainkan bangsawan Persia.

Tidak berhenti di situ. Bobby bahkan jadi jalur diplomasi internasional. Tamu-tamu penting datang membawa hadiah khusus. Bukan semata-mata karena mereka pecinta kucing, melainkan karena mereka tahu: perhatian kepada Bobby bisa meluluhkan hati bos Bobby. Diplomasi kadang lebih mudah lewat seekor kucing daripada lewat rakyat 270 juta jiwa.

Maka, siapa bilang Bobby tidak berjasa bagi negara? Jasanya besar sekali. Ia mampu menjaga suasana hati bos. Ia bisa membuat presiden tersenyum saat lelah, terhibur ketika murung. Di negeri ini, mungkin itu dianggap prestasi kenegaraan.

Bandingkan dengan rakyat. Rakyat boleh mati-matian kerja, bayar pajak tepat waktu, bahkan menutup kekurangan anggaran negara dengan keringat mereka. Tapi tidak ada pengawalan istimewa. Tidak ada stroller mewah. Bahkan ketika antre bansos, yang datang bukan senyuman, melainkan desakan aparat.

Rakyat hanya berguna sebagai pemasok dana. Mereka harus patuh, harus taat, harus tetap optimis meski hidup sering kali pesimis. Sementara seekor kucing bisa menikmati fasilitas negara; rakyat justru diminta bersyukur dan jangan iri.

Lucunya, sebagian orang menganggap kehadiran Bobby sebagai hiburan publik. “Ah, biarlah ada yang lucu di tengah hiruk pikuk politik,” begitu alasan mereka. Padahal, yang lucu bukan kucingnya, melainkan kenyataan bahwa seekor hewan piaraan bisa lebih diprioritaskan negara ketimbang rakyat yang sedang kesulitan beli beras.

Kalau dipikir-pikir, mungkin memang benar: di Republik +62, kadang lebih mulia jadi kucing daripada jadi manusia. Kucing bisa jadi simbol diplomasi, kucing bisa mendapatkan fasilitas negara, kucing bisa jadi konten politik yang manis. Rakyat? Paling-paling jadi bahan data survei atau bahan janji kampanye.

Jadi jangan heran kalau suatu hari nanti, ketika ajal menjemput, Bobby berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Alasannya sederhana: ia berjasa bagi negara—setidaknya dalam urusan membuat presiden tersenyum.

Dan kalian, wahai rakyat +62, tetaplah taat bayar pajak. Jangan neko-neko. Ingatlah: di negeri ini, bukan besarnya pengorbanan yang dihitung, melainkan sejauh mana kalian bisa menghibur hati penguasa.

© khafi.id