Negara Rajin Memajak, Rakyat Siap Mentahlilkannya
Beberapa waktu terakhir, negara terlihat begitu rajin mencari apa saja yang bisa dipajaki—atau kalau mau jujur, dipalaki. Bukan hanya barang mewah atau penghasilan besar, bahkan sampai urusan voice call pun sempat diwacanakan untuk dikenai pajak. Konon, ada pandangan yang mengatakan: ketika negara mulai begitu giat memungut pajak, itu pertanda ia sedang menuju—atau sudah berada di—ambang kebangkrutan.
Pengurus negara ini, tampaknya, memang malas. Bukankah lebih masuk akal jika mereka rajin membersihkan koruptor, menutup rapat celah-celah korupsi, dan menghentikan proyek-proyek mercusuar yang tidak jelas manfaatnya, ketimbang rajin memalak rakyat? Dari MBG, Koperasi Merah Putih, “sekolah rakyat” yang hanya nama, sampai proyek-proyek ala danantara—semuanya adalah lubang besar yang nyata, tapi entah kenapa dibiarkan tetap menganga. Dampaknya pun jelas: uang negara menguap, tapi rakyat tak kunjung merasakan manfaat.
Mungkin memang begitu sifatnya: membereskan rumah sendiri butuh tenaga, butuh waktu, butuh keberanian untuk memutus tali-tali yang terlanjur nyaman mengikat banyak orang di dalam lingkaran. Sementara memalak rakyat? Itu gampang. Tinggal bikin wacana, putar sedikit narasi tentang “demi pembangunan” atau “demi kemandirian bangsa”, lalu ketok palu. Dalam sekejap, kas negara terisi—walau untuk sementara—dan yang menanggung beban tetap orang-orang di luar lingkaran kekuasaan.
Padahal, kalau mau jujur, rajin membersihkan korupsi jauh lebih menguntungkan daripada rajin mencari pajak baru. Uang yang bocor bisa kembali, proyek yang mubazir bisa dihentikan, dan rakyat bisa melihat bahwa pengurus negara ini benar-benar bekerja untuk mereka. Tapi entah kenapa, pilihan itu selalu terasa terlalu berat. Mungkin karena korupsi itu seperti jamur di musim hujan: tumbuh di mana-mana, bahkan di tempat yang tidak pernah kita duga, dan ada banyak yang diam-diam menjaga agar kelembapan itu tetap terpelihara.
Dan begitulah siklusnya: ketika kebocoran dibiarkan, proyek-proyek ganjil dijalankan, dan kantong negara terus jebol, ujung-ujungnya rakyatlah yang diminta menambal. Pajak dinaikkan, jenisnya diperluas, bahkan sampai hal-hal yang dulu dianggap sepele pun mulai diincar. Lalu uang yang terkumpul… kembali berputar di mesin yang sama—mesin yang sudah lama aus, tapi enggan diganti.
Tidak heran jika ada yang berkata, negara yang terlalu rajin memungut pajak hanyalah negara yang sedang menyiapkan upacara kematiannya sendiri. Dan kita, rakyatnya, diminta ikut membayar biaya tahlilan itu, sambil pura-pura percaya bahwa semua ini demi masa depan.
Maka seyogyanya rakyat mempersiapkan diri, secara mandiri, tanpa terlalu bergantung pada negara. Sebab jika suatu saat—amit-amit—negara bangkrut dan kolaps, rakyat tetap bisa hidup, mandiri, tanpa morat-marit.
Join the conversation