Orang Miskin, Pelanlah...!!

Sering kali, kita—yang saya maksud “kita” di sini adalah orang-orang kelas menengah ke bawah, kadang mepet gedheg, kadang nyaris ambruk

“Orang yang paling kaya bukan yang paling cepat, tapi yang tahu kapan harus berhenti.”

Barangkali terdengar bijak, tapi siapa sebenarnya yang bisa berhenti hari ini?

Kita hidup di zaman yang menuntut segala sesuatu serba cepat. Pesan harus dibalas detik itu juga. Makanan datang dalam lima belas menit. Konten diunggah tiap hari. Kecepatan menjadi mata uang baru—dan mereka yang lambat dianggap tertinggal, bahkan gagal.

Sering kali, kita—yang saya maksud “kita” di sini adalah orang-orang kelas menengah ke bawah, kadang mepet gedheg, kadang nyaris ambruk—dibuat iri oleh unggahan para influencer kaya. Mereka berfoto di depan Menara Eiffel, atau bersandar di balkon vila pegunungan dengan caption bijak: “slow living, hidup tergesa-gesa memburu apa?”

Ya, itu mereka—yang tidak lagi memikirkan besok mau utang kepada siapa lagi, utang ke mana lagi, sementara utang bulan lalu pun belum ada pekerjaan yang bisa diandalkan untuk membayarnya.

Tetapi slow living seharusnya soal hak, bukan sekadar soal kelas ekonomi. Setiap orang berhak atas kemewahan bernapas pelan—dengan bentuk dan caranya sendiri-sendiri. Ia tidak harus berupa retreat ke vila mewah atau secangkir kopi mahal di kafe sunyi. Bisa saja berupa waktu lima belas menit duduk di emper rumah, menikmati sore yang tidak tergesa.

Slow living tidak selalu berarti menikmati kemewahan—apalagi kemewahan dari hasil menindas rakyat kecil. Barangkali, slow living adalah soal ritme: tentang bagaimana seseorang menyelaraskan langkah hidupnya dengan tubuh, dengan waktu, dengan dunia di sekitarnya.

Slow living dan Kelas Sosial

Bagi sebagian orang, slow living adalah pilihan: berhenti dari kerja korporat, menanam sayuran sendiri, menjauh dari kota. Tapi bagi sebagian besar lainnya, hidup tidak pernah jadi pilihan. Ia hanya sesuatu yang dijalani, sambil terus berupaya tidak tenggelam.

Buruh pabrik tidak bisa memilih slow living. Jeda lima menit bisa membuat gaji dipotong. Pedagang pasar tidak bisa menutup lapak demi “menata energi”. Ojek daring tidak bisa mengambil hari untuk kontemplasi, karena target terus menghantui layar.

Kita perlu jujur: slow living yang dipopulerkan hari ini—dengan ritual pagi yang tenang, journaling, secangkir kopi, dan ruang-ruang estetik—adalah kemewahan kelas menengah ke atas. Bukan sesuatu yang bisa diakses semua orang.

Hidup Lambat Tanpa Label

Namun bukan berarti kelas bawah tidak mengenal hidup pelan. Mereka justru hidup dalam ritme yang lambat secara alami. Tapi ritme itu tidak lahir dari kesadaran gaya hidup, melainkan dari keterbatasan dan keterikatan pada musim, alam, dan realitas.

Di kampung-kampung, ada kebiasaan duduk sore sambil menyeruput kopi tanpa tergesa. Obrolan ngalor-ngidul di warung jadi tempat melepas napas. Petani tidak bisa memaksa tanah mempercepat panen, dan nelayan tahu bahwa laut tak bisa dipaksa memberi ikan lebih banyak hari itu.

Itu bukan “gaya hidup”—itu hanya hidup.

Sayangnya, semua itu mulai tergeser oleh dunia yang memuja percepatan. Warung kini sibuk dengan order online. Petani mulai dituntut “berorientasi pasar”. Bahkan anak-anak sekolah pun harus cepat menghafal, cepat naik kelas, cepat sukses—lalu cepat lupa bagaimana caranya berhenti.

Perlambatan Sebagai Perlawanan

Mungkin inilah saatnya menyadari: slow living seharusnya bukan sekadar pilihan personal, tapi juga gerakan sosial. Sebuah cara melawan sistem yang memaksa semua orang untuk berlari, bahkan ketika kakinya luka.

Slow living bukan sekadar soal meredupkan notifikasi atau menata ruang tamu agar minimalis. Ia adalah perlawanan terhadap logika dunia yang menilai hidup dari kecepatan, efisiensi, dan performa.

Bukan hanya tentang “mengatur waktu”, tapi juga mempertanyakan: waktu siapa yang sedang kita ikuti?

“Manusia membutuhkan alat-alat baru untuk bekerja bersama, bukan alat yang bekerja menggantikan mereka.”
—Ivan Illich

Illich mengingatkan bahwa alat—dan bisa jadi, sistem sosial yang kita anggap ‘memudahkan’—sering kali justru mengasingkan kita dari kebersahajaan hidup. Kita perlu cara hidup yang memperkuat martabat dan kemandirian, bukan sekadar mempercepat segalanya demi efisiensi yang tidak kita minta.

Bobo di Atas Kemapanan

Dalam bukunya Bobos in Paradise, David Brooks menyebut satu kelas sosial yang menarik: kaum borjuis yang merasa dirinya bohemian. Mereka adalah orang-orang yang kaya, terpelajar, dan bergaya hidup “sadar lingkungan”, “pencinta alam”, atau “slow living”—tapi tetap menikmati semua itu dari atas geladak kapal layar pribadi atau vila di pegunungan. Melawan arus sambil tetap duduk nyaman di tengah arus. Mengutuk kapitalisme, tapi hidup darinya. Mungkin itulah mengapa slow living versi mereka terasa seperti parodi yang mahal.

Akhirnya...

Hidup pelan bukan milik segelintir orang. Ia milik siapa pun yang masih berani memilih hidup yang utuh, bukan hidup yang cepat. Ia mungkin tidak selalu bisa dijalani dalam bentuk sempurna, tapi bisa kita perjuangkan dalam bentuk-bentuk kecil: menyeduh teh dengan sadar, mendengar tanpa memotong, menunda balasan tanpa merasa bersalah.

Dan di tengah dunia yang memaksa kita untuk terus lari, barangkali justru yang pelanlah yang paling waras.

© khafi.id