Seni Bertahan Hidup dari Potongan Kecil-Kecil

Motivashit tentang seni bertahan hidup dari potongan biaya kecil-kecil yang diam-diam menggerogoti.

Bagi sebagian orang rezeki —"rezeki" yang berupa uang tentunya— datang tiap bulan. Slip gaji rapi masuk rekening pada tanggal yang sama, bagaikan janji yang selalu ditepati. Bagi sebagian lainnya, rezeki datang kapan saja—kadang lewat transfer, kadang lewat dompet, kadang lewat selipan amplop di saku. Tidak ada tanggal pasti, tapi potongan-potongannya selalu tepat waktu.

Kadang uang datang saat kita sedang benar-benar membutuhkannya. Kadang malah datang saat kebutuhan sudah lewat, hanya bisa menutup lubang lama yang sudah keburu membesar. Kadang, meski kita sudah menanti dengan sabar, yang datang bukan uang, melainkan pesan singkat: “Bulan depan ya, Mas.” Lucunya, para penarik uang dari kita tidak pernah berkata begitu. Tagihan listrik, sewa kontrakan, cicilan motor, bahkan potongan admin kecil-kecil—semuanya seperti punya jam biologis sendiri, selalu tepat waktu.

Kalau dipikir-pikir, hidup kita ini mirip seperti pesta arisan yang kebanyakan panitia. Kita ikut iuran, tapi giliran menang jarang, bahkan kadang tidak kebagian. Tapi kita tetap duduk di kursi, tetap tersenyum, tetap ikut foto bareng, meski tahu dompet kita yang membiayai semua dekorasinya.

Maka kita pun belajar. Bukan hanya belajar mencari uang, tapi juga belajar menerima bahwa uang itu seperti tamu singkat: datang sebentar, membawa janji, lalu pulang sambil mengajak teman-temannya—para potongan kecil yang selalu lapar. Potongan itu macam-macam: biaya admin, pajak, ongkir, iuran, bahkan service charge yang dibungkus rapi dengan kalimat manis.

Yang ironis, potongan itu sering disebut kecil—Rp 1.500, Rp 2.500, Rp 3.000. Tapi kecil bagi siapa? Kalau dikumpulkan, jumlahnya bisa membuat kita menunda beli beras sehari. Lucunya lagi, kita menganggapnya hal biasa. Kita bahkan kadang lupa menghitungnya. Begitu sadar, semua sudah lewat, seperti bensin yang entah sejak kapan berkurang padahal kita belum kemana-mana.

Belum lagi, belakangan, ada postingan di media sosial yang bilang kalau lagu yang diputar di kafe biaya royaltinya dibebankan ke pembeli. Apa-apaan ini. Jadi semakin bertambah juga printhilan pengeluaran yang "tidak disengaja". Mau pesan kopi, ternyata bayar juga untuk musik yang mungkin bahkan tidak kita dengarkan. Kalau begitu, jangan-jangan nanti kita masuk taman kota juga kena biaya karena menghirup oksigen yang sudah di-maintain.

Namun di situlah seni hidup ini. Kita tidak sekadar mengatur pemasukan, kita mengatur kesabaran. Kita belajar mengubah keterlambatan menjadi keluwesan, mengubah potongan jadi pengingat, dan mengubah kegetiran jadi bahan candaan. Karena kalau tidak, yang tersisa hanya kepala pening dan dompet tipis.

Bertahan hidup dari potongan kecil-kecil itu memang tidak akan membuat kita kaya. Tapi setidaknya, kita kaya pengalaman. Pengalaman bagaimana bertahan di tengah biaya yang diam-diam naik, pengalaman bagaimana memutar uang yang sudah terpotong bahkan sebelum sempat kita sentuh, pengalaman bagaimana tetap tersenyum ketika saldo tinggal ribuan tapi warung masih menunggu pembayaran.

Kita juga belajar untuk menyesuaikan diri. Misalnya, ketika uang datang terlambat, kita jadi ahli menunda keinginan. Kita tahu kapan harus belanja, kapan harus menahan, dan kapan harus pura-pura lupa bahwa masih ada sedikit saldo di tabungan. Kita tahu bahwa "uang panas" itu nyata—begitu datang, langsung menguap entah kemana.

Kadang, dalam hati, kita ingin melawan. Kita ingin bilang ke tagihan listrik, ke biaya admin, ke pajak: “Nanti saja, tunggu pemasukan berikutnya.” Tapi kita tahu itu mustahil. Hidup tidak menunggu kesiapan kita. Potongan-potongan itu tidak peduli apakah kita sedang kosong atau penuh, sedang senang atau sedih, sedang semangat atau lemas. Mereka hanya tahu satu hal: waktunya menarik.

Dan di titik itulah, kita semua menjadi seniman. Seniman bertahan hidup. Kita memahat strategi dari angka-angka di rekening, melukis harapan di tengah saldo yang berkurang, dan memamerkan senyum yang kadang lebih berat dari beban itu sendiri. Tidak ada penghargaan resmi untuk keahlian ini, tapi percayalah, tanpa seni ini, banyak dari kita sudah angkat tangan sejak lama.

Pada akhirnya, kita paham satu pelajaran besar: hidup ini bukan hanya soal mendapatkan, tapi juga soal merelakan. Merelakan yang datang dan pergi, yang bertambah dan berkurang, yang hadir sebentar lalu menghilang.

Dan kita juga perlu meyakini bahwa, di dunia ini, usaha yang laku tidak laku tetap cair hanyalah penjual es keliling.

Dan, kita semua yang pernah muda tahu jika: cinta tak harus memiliki. Seperti salah satu bait lagu Dewa, “Cintaku tak haruss… uuuuu… miliki dirimuuuuu… uuuuu (uwwoo....uwwoo... uyeee...)” —hanya saja, kali ini subjeknya kita ganti: uang.

© khafi.id