Kesehatan Mental yang Jadi Komoditas

Gen Z semakin akrab dengan isu kesehatan mental, tapi ironisnya isu ini kini menjadi komoditas yang laku keras di pasaran.

Belakangan, istilah self-care menjadi mantra baru, terutama di kalangan Gen Z. Aplikasi meditasi, lilin aromaterapi, teh penenang, sampai paket healing di hotel, semua laris dipasarkan dengan jargon kesehatan mental. Seakan-akan ketenangan batin sudah punya harga, lengkap dengan diskon dan metode cicilan.

Dulu, orang menenangkan diri dengan cara sederhana: duduk di teras sambil menyeruput kopi, mengobrol dengan tetangga, atau sekadar merebah di dipan bambu. Kini, ketenangan seolah harus dibungkus estetika: ruangan dengan lampu redup, aroma lavender, dan tentu saja postingan Instagram dengan tagar #selfcare. Ketenangan yang dulu gratis kini harus tampil aesthetic agar dianggap sah.

Gen Z memang paling vokal soal kesehatan mental. Dari isu burnout sampai anxiety, semua ramai dibicarakan di TikTok. Di satu sisi ini baik, karena topik yang dulu tabu kini lebih terbuka. Namun di sisi lain, ada paradoks: semakin banyak orang bicara tentang healing, semakin kuat rasa bersalah kalau tidak ikut arus. Tidak ikut meditasi, tidak langganan aplikasi mindfulness, atau tidak membeli jurnal syukur yang viral, tiba-tiba dianggap kurang peduli pada diri sendiri. Bukannya sembuh, malah tambah cemas.

Umberto Eco pernah mengingatkan soal kitsch: duplikasi rasa yang instan, artifisial, dan penuh kepura-puraan. Kesehatan mental kita pun kini berisiko masuk dalam jebakan yang sama. Bukan lagi tentang jiwa yang tenang, melainkan tentang citra ketenangan yang bisa dijual, difoto, dan diberi filter. Yang penting terlihat tenang, meskipun kepala tetap penuh tagihan dan deadline.

Jean Baudrillard barangkali juga akan tersenyum getir melihat fenomena ini. Kesehatan mental menjadi simulacra: kita tidak lagi mengejar ketenangan itu sendiri, tapi mengejar tanda-tanda ketenangan. Self-care menjadi sekadar simbol—lilin wangi, yoga di studio Instagrammable, atau retreat dengan latar sawah Bali—yang lebih penting dari ketenangan itu sendiri. Realitasnya, banyak yang pulang dari healing trip justru kembali resah saat membuka notifikasi gaji yang tak kunjung naik.

Dan jangan lupa, ketenangan semacam ini tidak pernah murah. Ada harga yang harus dibayar: biaya retreat, langganan aplikasi, tiket pesawat, bahkan perlengkapan yoga yang seragam warnanya dengan feed Instagram. Paket healing di hotel berbintang yang dijual di platform online bisa mencapai jutaan rupiah per malam. Aplikasi meditasi populer menagih biaya langganan bulanan. Di marketplace, merchandise bertema mental health—dari hoodie bertuliskan “it’s okay not to be okay” sampai tumbler dengan kata-kata afirmasi—dijual dengan harga yang kadang jauh lebih tinggi dari fungsinya. Maka yang terjadi adalah ironi: di satu sisi kita membeli ketenangan, di sisi lain kita digelisahkan oleh tagihan kartu kredit dan saldo dompet digital yang menipis. Kita lega sejenak, lalu resah kembali. Damai sebentar, lalu dihantui angka-angka yang tertera di mutasi rekening.

Gen Z, dengan segala kedekatannya pada media sosial, terjebak dalam pusaran itu. Mereka tahu istilah-istilah psikologis, mereka terbuka untuk bercerita, tapi sekaligus jadi target empuk industri yang menjual “jalan pintas” menuju damai. Tak heran kalau kesehatan mental kini menjadi pasar baru: dari workshop daring, therapy merch, hingga konten motivasi yang diulang-ulang bak rekaman kaset lama.

Padahal, sering kali yang paling dibutuhkan justru hal-hal sederhana. Diam sejenak tanpa ponsel. Menatap pohon, bukan layar. Mendengarkan suara hujan, bukan notifikasi. Sesuatu yang tidak bisa dibeli, tidak bisa diunggah, dan tidak perlu estetika. Ironisnya, hal-hal gratis semacam itu justru terasa makin mahal di tengah derasnya pasar kesehatan mental.

Mungkin benar, kita sedang hidup di zaman ketika kesehatan mental penting, tapi terlalu mudah diperdagangkan. Jalan keluarnya bukan menolak produk, tapi mengingat bahwa jiwa tidak selalu bisa dibeli dengan promo. Kadang-kadang, ketenangan lahir justru dari kesederhanaan yang kita lupakan: duduk, diam, dan bernapas tanpa tergesa. Dan yang lebih penting, tidak perlu khawatir besok harus membayar cicilan demi rasa tenang yang ternyata semu.

© khafi.id