Jika Saja Biaya Haul Besar-besaran Itu untuk Kegiatan Sosial

Potensi dana miliaran dari acara haul-haulan jika dialihkan untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pembiayaan umat miskin.

Setiap tahun, ada saja acara haul-haulan besar yang digelar dengan melibatkan massa dalam jumlah luar biasa. Jalanan ditutup, tenda-tenda didirikan, penerangan dipasang di berbagai sudut, dan ribuan orang memadati kota kecil yang tiba-tiba berubah ritmenya. Suasananya meriah sekaligus khidmat. Tapi di balik hiruk pikuk itu, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: kira-kira berapa biaya yang dihabiskan untuk satu acara seperti itu?

Kita tak perlu menghitung dengan rumus rumit. Cukup pakai cara “kasar” dan “bodoh”. Misalnya, sebuah acara haul-haulan besar dihadiri sekitar 200.000 orang. Kalau panitia menyiapkan fasilitas dasar—seperti tenda, penerangan, keamanan, kebersihan, dan penunjang logistik lainnya—dengan biaya Rp20.000 per orang, maka angkanya langsung melompat ke sekitar Rp4 miliar. Itu baru untuk kebutuhan dasar.

Tambahkan biaya konsumsi panitia, pengamanan, transportasi, serta berbagai kebutuhan teknis lainnya, katakanlah sekitar Rp3 miliar. Dan jangan lupa biaya tak terduga: genset cadangan, sewa toilet portable, perbaikan pagar, hingga pengelolaan sampah. Sisihkan lagi sekitar Rp1 miliar.

Kalau dijumlahkan, hasilnya sekitar Rp8 miliar. Angka ini tentu saja tidak selalu pasti—bisa lebih kecil, bisa jauh lebih besar—tapi sebagai gambaran kasar, itu angka yang masuk akal untuk sebuah acara haul-haulan besar yang dikelola dengan skala raksasa.

Sekarang, bayangkan angka itu tidak habis dalam satu momentum. Bayangkan jika Rp8 miliar itu dialihkan atau sebagian darinya dialokasikan untuk pemberdayaan umat. Dampaknya akan luar biasa.

Dengan Rp8 miliar, kita bisa membangun beberapa sekolah atau pesantren rakyat. Biaya pembangunan satu unit pesantren sederhana dengan ruang kelas dan asrama berkisar Rp1–1,5 miliar. Artinya, dana sebesar itu cukup untuk mendirikan lima hingga delapan lembaga pendidikan kecil di pelosok, tempat anak-anak dari keluarga miskin belajar dan tumbuh.

Atau, kita bisa menyalurkan dana itu ke usaha mikro umat. Modal Rp5 juta per pelaku usaha, bergulir dan produktif. Delapan miliar bisa memberdayakan sekitar 1.600 usaha kecil. Kalau satu usaha menopang empat anggota keluarga, dampaknya menyentuh 5.000–6.000 jiwa. Bukan sedekah sekali pakai, tapi modal hidup yang terus berputar.

Bisa juga membangun klinik rakyat. Klinik sederhana dengan peralatan dasar dan tenaga medis, biaya awalnya sekitar Rp1 miliar. Dengan Rp8 miliar, kita bisa menghadirkan delapan klinik kecil atau satu klinik modern besar dengan beberapa klinik satelit di daerah terpencil. Setiap tahun, ribuan orang bisa mendapatkan akses kesehatan yang layak.

Tambahkan program beasiswa pendidikan tinggi. Satu mahasiswa dari keluarga tidak mampu bisa dibiayai kuliah dan hidup selama 4 tahun dengan sekitar Rp50 juta. Dengan Rp8 miliar, bisa dibiayai sekitar 160 mahasiswa hingga lulus. Generasi baru ini bisa menjadi agen perubahan di bidang kesehatan, pendidikan, dan teknologi.

Atau gunakan dana itu untuk pembangunan rumah sederhana. Satu rumah tipe kecil sekitar Rp100 juta. Delapan miliar bisa membangun 80 rumah layak bagi keluarga dhuafa yang hidup di pinggiran, tanpa kepastian tempat tinggal.

Dan jangan lupa satu hal yang sering luput: membiayai biaya rumah sakit umat yang sedang sakit dan tidak mampu membayar ongkos rumah sakitnya. Dalam sistem kesehatan kita yang masih timpang, satu pasien bisa terlilit biaya belasan hingga ratusan juta. Delapan miliar bisa menjadi dana penopang darurat untuk ratusan pasien miskin—bukan sekadar menyelamatkan nyawa, tapi juga menjaga keluarga mereka dari jerat utang.

Tentu saja, acara haul-haulan punya nilai spiritual dan sosial yang penting. Ia menjadi ruang zikir, silaturahmi, dan penguatan tradisi keagamaan. Tapi tidak ada salahnya sesekali bertanya dengan jujur: apakah cara kita memperingati sudah selaras dengan semangat tokoh yang kita kenang? Ataukah kita terjebak dalam gegap gempita seremonial, sementara peluang perubahan di depan mata kita biarkan lewat begitu saja?

Mungkin yang dibutuhkan bukan mengganti tradisi, melainkan menyusupkan ruh pemberdayaan ke dalamnya. Agar doa dan zikir tidak hanya naik ke langit, tapi juga turun ke bumi dalam bentuk nyata—menjadi sekolah, modal usaha, klinik, beasiswa, rumah, dan biaya pengobatan bagi mereka yang membutuhkan.

© khafi.id