Kesalehan yang Tersesat di Jalan Donasi

Kesalehan tampak bergeser menjadi kompetisi antar dompet. Orang yang berzakat besar dipuja, yang berinfak kecil diabaikan.

Pernah, suatu saat saya membaca berita tentang seorang hakim yang berniat mengembalikan uang miliaran rupiah yang sempat ia sumbangkan untuk pembangunan kantor lembaga keagamaan. Entah bagaimana awalnya, tapi yang menarik bagi saya bukan pada siapa pelakunya, melainkan pada fenomena yang tersirat di baliknya — tentang bagaimana amal bisa kehilangan makna ketika niat dan sumbernya tercemar.

Berita itu mengingatkan saya pada sesuatu yang lebih dalam: di zaman ini, kesalehan seolah telah berubah wujud. Ia tidak lagi sekadar urusan batin antara manusia dengan Tuhannya, melainkan telah menjadi semacam pertunjukan sosial — lengkap dengan panggung, sorotan, dan tepuk tangan. Banyak yang berlomba menjadi “dermawan” agama, tapi sedikit yang meneliti dari mana uangnya datang.

Dari sisi kelembagaan, lembaga-lembaga keagamaan kita tampak semakin makmur. Gedungnya megah, fasilitasnya lengkap, programnya gemerlap. Namun, entah mengapa, semakin ke sini, rasanya semakin ke sana — semakin jauh dari akar kesederhanaan yang dulu menjadi ruh dari keagamaan itu sendiri. Dulu, agama tumbuh dari keikhlasan orang-orang yang miskin tapi jujur; kini, ia dikelilingi oleh orang-orang yang kaya tapi sering kali tak tahu malu.

Sumbangan dan donasi memang penting. Ia adalah darah bagi gerak sosial dan dakwah. Namun, bila darah itu tercemar, apakah tubuhnya masih bisa disebut hidup dengan sehat? Uang yang kotor tetap kotor, meski diserahkan lewat amplop bertuliskan “demi agama”.

Yang lebih menyedihkan, banyak tokoh atau pesohor agama kini lebih sibuk menilai umat dari berapa banyak mereka memberi, bukan dari seberapa tulus mereka berbuat. Kesalehan tampak bergeser menjadi kompetisi antar dompet. Orang yang berzakat besar dipuja, yang berinfak kecil diabaikan, padahal bisa jadi yang kecil itu datang dari hati yang lebih bersih.

Padahal, dalam ajaran yang paling dasar, Tuhan tidak pernah memerintahkan kita untuk bermegah-megahan dalam amal. Yang Ia lihat bukan kuantitas, melainkan kualitas — bukan jumlahnya, tapi niat di baliknya. Nabi sendiri mengingatkan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan hati dan amal kalian.”

Namun kini, di tengah maraknya pembangunan rumah ibadah, kantor lembaga, dan gedung amal, mungkin kita perlu berhenti sejenak. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah semua ini benar-benar demi Tuhan, atau sekadar demi gengsi? Jangan-jangan kita lebih sibuk membangun dinding daripada memperbaiki diri.

Sebab, kalau hati belum bersih, maka semegah apa pun bangunan yang berdiri, semuanya akan tetap kosong. Ia hanya akan menjadi monumen kesalehan yang tersesat di jalan donasi — berdiri kokoh di luar, tapi rapuh di dalam.