Aku Miskin Maka Aku Ada

Kemiskinan yang perlu untuk dicaci-maki.

“Koe kok panggah kere to, Fid? Motore kancamu wis apik-apik. Motormu awit biyen kok panggah elek ae.”

Begitu kata seorang teman, suatu hari. Ia berkata begitu karena sejak zaman kami masih punya Nomor Induk Mahasiswa, saya memang mengendarai Vespa lawas—sementara dia sudah naik Mega Pro. Kini, bertahun-tahun kemudian, saat kami bertemu lagi, dia turun dari mobil Freed—atau Feed, entahlah, saya lupa. Sementara saya? Ya, saya turun dari F1ZR butut yang lampunya sudah dililit isolasi agar tidak terlepas dari batok lampunya. Maka, saya maklum saja kalau dia berkata seperti itu.

Apakah saya tersinggung? Jelas. Wong tidak perlu dijelaskan pun, orang sekali lihat saya juga pasti tahu kalau saya itu miskin.

Tapi bukan kata “miskin”-nya yang bikin sakit hati. Justru sebaliknya: bagi saya, "miskin" adalah kata yang sakral. Sebab, kemiskinan itu bukan sekadar kondisi ekonomi, tapi semacam status spiritual. Serius.

Tidak semua orang berhak menyandang gelar miskin. Dan lebih dari itu—tidak semua orang sanggup mengemban amanah kemiskinan. Karena bisa jadi, kemiskinan itu bukan kutukan, tapi jalan hidup. Semacam laku tirakat yang tidak dipilih oleh orang lemah.

Makanya saya sering membayangkan, kemiskinan ini ya mirip-mirip dengan kata “wali” atau sebutan “al-faqir” dalam sufisme. Sama-sama tampak sederhana, tapi sebenarnya menyimpan makna berat yang tidak semua orang kuat menjalaninya.


Salah satu bukti bahwa tidak semua orang sanggup mengemban kemiskinan adalah betapa banyaknya orang tersinggung kalau disebut miskin. Jarang orang yang mau terlihat miskin. Kalaupun ada yang terlihat miskin dan berpakaian ala kadarnya, itu bukan karena dia sedang menerima nasib, tapi karena dia sedang berusaha keluar dari lingkaran kemiskinan. Lihat saja para pengemis.

Lalu saat ada bantuan pemerintah, banyak orang mengajukan diri sebagai orang miskin. Tapi bukan karena benar-benar miskin—melainkan karena tidak ingin miskin. Pun saya begitu. Kalau ada kesempatan ngrayah bantuan, ya saya ikut.

(Ngeles dikit: ngrayah itu bahasa Indonesianya apa ya?)

Tapi, kalau harus daftar ini-itu, saya malu. Masa kemiskinan harus dipamerkan?


Contoh kecil: saat ada yang tanya,
“Motormu nyapo kok gak kok dandakke?”
Saya gak tega jawab:
“Gak nduwe duit.”
Maka saya jawab yang aman:
“Urung kober, kok...”
Agar kemiskinan saya tidak terlalu tampak norak.


Pernah juga, saya mencurahkan soal kemiskinan ini ke seorang kawan ngopi, yang jauh lebih tua dan bijak dari saya: Romo Aswar. Bukan romo gereja, ya—saya panggil dia "Romo" karena dia lulusan seminari di Blitar.

Solusinya katanya simpel:
“Kerjo sing tenanan, golek bayaran sing luwih gedhe tinimbang keringetmu.”

Saya, tentu saja ngeyel:
“Lho, awake dewe ki rumangsaku kerjo wis lumayan e, Mo.”

Ia hanya nyengir, lalu menimpali:
“Iyo. Mung bayarane sing kadang awake dewe ra mentolo nonton jumlahe… saking akehe.”

Lalu kami tertawa. Romo Aswar ini secara ekonomi juga sebelas-dua belas dengan saya—ya dia dua belas, saya sebelas.


Di negeri ini, skill, kepandaian, dan kekayaan belum tentu diakui oleh masyarakat—apalagi birokrasi. Tapi kemiskinan? Wah, itu justru cepat sekali dikenali. Bahkan ada kelas khusus untuk kemiskinan: kelas miskin ekstrem.

Coba saja cari, apakah ada kelas kaya ekstrem? Atau kelas menengah rawan tergelincir? Nggak ada. Kaya ya cukup disebut kaya. Tapi kalau miskin, lengkap: dari miskin biasa sampai miskin sangat meyakinkan.

Saya pribadi termasuk yang sangat meyakinkan itu. Kalau boleh jujur... miskinku terakreditasi A. Hehehe.

Lucunya lagi, lebih sering orang meng-ghibah orang miskin karena mereka bingung: “Kok betah ya dia miskin?” Daripada orang kaya yang malah dibilang: “Kok ya betah jadi kaya terus…” Nggak ada.


Tapi kadang, di tengah sepi saya, saya merenung. Saya ini miskin karena memang diciptakan miskin? Atau saya diciptakan miskin agar bisa menjadi ladang pahala bagi orang-orang kaya?

Mereka bersedekah, saya menerima. Saya terbuka. Saya ikhlas. Maka saya dan mereka pun dapat pahala. Keren, kan?

Hallah… kere wae kok kakean alesan.


Dan percayalah: negara ini dibangun oleh dan atas nama orang-orang miskin.

Yang kaya, yang ningrat, yang mapan, dulu lebih memilih dekat dengan penjajah. Yang miskin—karena tidak tahan dengan kemiskinan—berontak. Mereka angkat senjata. Mereka protes. Mereka turun ke jalan dan ke medan perang.

Setelah penjajah tumbang, orang-orang pandai yang tak punya posisi di sisi kumpeni naik menggantikan kumpeni.

Dan mereka pun berkuasa.

Dan orang miskin?
Tetaplah miskin.
Seperti biasa.


F1ZR itu?

Sudah tidak lagi bersama saya.
Upgrade ke Freed?…
Ya enggaklah...! Dia sudah tidak tahan dengan keadaan....
Tapi mau gimana lagi—
F1ZR akhirnya menyerah kepada keadaan.