Aku Nges(l)ot Maka Aku Ada
Barangkali ini akan menjadi cerita yang panjang—meski sumbernya sangat pendek: satu tombol dan satu suara khas, thirr. Di sekitar kita, makin sering terdengar kisah-kisah lucu kalau tidak mau dibilang tragis, tentang orang-orang yang hidupnya berubah karena "permainan sederhana" bernama slot. Sebagian menyebutnya judi. Sebagian lagi enggan menyebutnya demikian—karena, katanya, ini cuma hiburan. Padahal, hiburan macam apa yang bisa membuat orang kehilangan rumah, sawah, dan waras?
Slot sering disebut sebagai bentuk perjudian paling bodoh. Bukan karena kalah terus, tapi karena nyaris tak ada ruang berpikir di dalamnya. Tak ada strategi, tak ada analisis, tak perlu nekat bertanya ke makhluk halus seperti dalam togel. Cukup pencet tombol, dan serahkan hidupmu pada parade ikon-ikon digital yang berputar seperti lotre zaman Romawi, tapi kini dalam genggaman smartphone murah.
Dulu, orang kehilangan harta karena nafsu. Sekarang, cukup karena jempol. Cuma dari satu aktivitas tap—dan mak kluthik—yang terjadi bukan sekadar hilang pulsa, tapi bisa sampai gadai BPKB, pindah sertifikat tanah, dan bubar rumah tangga. Para penggemarnya bahkan sudah punya istilah puitis untuk akhir dari semuanya: runkad—runtuh dan kandas, dalam satu paket.
Slot memang berbeda dengan togel yang masih menyisakan ruang untuk "ikhtiar". Mulai dari menafsir mimpi, membolak-balik angka lahir, sampai membaca rumus probabilitas dengan gaya ngarang bebas. Tapi slot? Murni pasrah. Lebih religius dari para pendoa, tapi sayangnya tidak dalam konteks yang benar.
Dan lucunya, meskipun sama-sama membawa kerugian, slot terasa lebih numani—lebih personal, lebih mengikat, lebih... akrab. Barangkali karena ia hadir di genggaman tangan, bukan di kolong meja judi. Ia berbisik di tengah kesepian, bukan berteriak di pinggir lapak. Dan dari situ, ia memanen candu yang lebih dalam dari sekadar taruhan uang.
Mike Robinson, seorang peneliti psikologi dari Wesleyan University, telah 15 tahun memelototi dunia judi online. Ia menemukan bahwa ketertarikan manusia pada judi bukan soal menang-kalah, melainkan soal ketidakpastian. Otak kita melepaskan dopamin saat merasa "mungkin akan menang", sama seperti saat kita makan enak, berhubungan seks, atau—maaf—mabuk obat-obatan.
Parahnya, kekalahan pun bisa memicu pelepasan dopamin yang serupa. Sehingga, alih-alih kapok, para penjudi justru makin terdorong untuk terus bermain. Inilah yang disebut chasing losses, atau "mengejar kekalahan". Tindakan irasional yang oleh para pecandu dianggap sangat rasional. Semacam membayar hutang dengan berutang lebih besar. Nyata salah, tapi tetap dilakukan.
Ada pula fenomena yang disebut near-miss, atau "nyaris menang". Momen-momen ketika ikon-ikon hampir cocok, nyaris jackpot. Kalah, tapi menggairahkan. Frustasi, tapi bikin penasaran. Dan anehnya, ini lebih memikat daripada benar-benar kalah telak. Karena di situ otak merasa: "Sebentar lagi pasti dapat". Padahal, yang sebenarnya terjadi: sebentar lagi pasti habis.
Tapi mungkin, ketergantungan pada slot bukan hanya karena mengejar kekalahan atau dopamin. Bisa jadi lebih dalam dari itu: karena slot menawarkan cara murah untuk merasa eksis. Di tengah hidup yang makin penuh tekanan, kadang kita hanya ingin merasa “ada”. Ada dalam grup, dalam tongkrongan, dalam percakapan. Slot bisa jadi simbol: bahwa mereka juga ikut main. Bahwa mereka juga punya “akses” pada kesenangan modern, meskipun lewat pinjaman online.
Jika manusia berpikir untuk menunjukkan eksistensinya, maka sebagian orang cukup dengan top up chip. Di era digital ini, bahkan keberadaan pun bisa dikonversi jadi pulsa. Slot bukan cuma soal kalah-menang, tapi tentang cara menyatakan diri: "Aku juga bagian dari zaman ini, meski harus runkad."
Join the conversation