Ketika Pak Tego Membuang Sampah
Mari kita mulai dari kisah ringan, sejenis dongeng urban yang mungkin terdengar familiar di banyak RT dan grup WhatsApp warga. Ada seorang warga, sebut saja Pak Tego, yang punya kebiasaan buruk: membuang sampah rumah tangganya ke teras tetangga sebelah, Pak Mentolo. Entah kenapa, Pak Tego tampaknya meyakini bahwa teras Pak Mentolo adalah perluasan tempat pembuangan akhir.
Pak Mentolo sudah mencoba cara-cara yang beradab. Ia menegur baik-baik, mengingatkan berkali-kali, bahkan sampai bersurat secara sopan. Tapi Pak Tego tetap setia pada rutinitasnya: buang sampah seenaknya, lalu minggat seolah tak terjadi apa-apa. Sampah jalan terus, kesabaran makin menipis.
Akhirnya, jalan hukum ditempuh. Pak RT dilapori. Pak RT, sesuai SOP birokrasi, meneruskan laporan ke Pak Lurah. Pemerintah desa pun turun tangan, memberi peringatan resmi. Saat itu, Pak Mentolo menarik napas lega. Ia kira semua sudah selesai. Laporan sudah naik. Aparat sudah bicara. Bukankah begitu seharusnya penyelesaian sebuah pelanggaran?
Ternyata, tidak.
Pak Tego memang sempat berhenti. Tapi hanya seperti maling yang sedang menunggu sepi. Beberapa waktu kemudian, ia kambuh. Tak hanya buang sampah, tapi juga buang kata-kata. Caci maki. Hinaan. Dan Pak Mentolo tetap diam, mungkin karena yakin hukum akan berpihak padanya. Atau mungkin karena sudah capek berharap pada hukum yang tak pernah datang.
Sampai suatu hari, anak Pak Mentolo pulang dari luar kota. Seperti anak muda berpendidikan pada umumnya, ia percaya pada logika, hukum, dan bahwa keadilan bisa ditegakkan. Maka ketika ia memergoki Pak Tego membuang sampah di teras rumah ayahnya, ia naik pitam. Ia mengajak bicara sang ayah, tapi yang didapat hanya diam dan pasrah. Anaknya tidak tinggal diam. Ia melapor ke aparat.
Respons aparat? "Akan kami tindak lanjuti," katanya. Sebuah kalimat sakral yang diucapkan dengan nada datar, seperti password default untuk semua kasus rakyat kecil.
Hari berganti minggu. Tak ada penyelidikan, tak ada kunjungan ke TKP, tak ada berita. Yang ada justru makin banyak sampah dan makin kotor nama hukum.
Dan ketika batas kesabaran jebol, anak Pak Mentolo memilih jalan kuno: hukum rimba. Ia mengayunkan sandal jepit ke tubuh Pak Tego. Mungkin bukan alat yang prestisius, tapi cukup untuk membuat Pak Tego pingsan dan muntah darah.
Lalu, drama sebenarnya dimulai.
Pak Tego melapor ke polisi—tempat yang sama yang dulu diharapkan menegakkan keadilan. Tapi kini mereka bekerja cepat. Anak Pak Mentolo langsung ditahan, dikenai pasal penganiayaan, terancam dua tahun penjara. Tak ada pertimbangan soal latar belakang kasus, tak ada konteks, tak ada keadilan restoratif. Hanya satu hal yang jelas: hukum akhirnya bekerja. Tapi hanya ketika ada “ikan besar” yang bisa ditangkap.
Cerita ini memang fiktif. Tapi terlalu sering terdengar nyata. Bisa soal sampah, bisa soal sengketa tanah, bisa soal pencurian motor, bisa soal penghinaan. Laporan pertama sering kali dianggap angin lalu. Tapi ketika konflik sudah jadi kekerasan—dan ada pelaku yang jelas dan bisa dikriminalkan—hukum pun bangkit dari tidur panjangnya.
Kadang saya bertanya-tanya, jangan-jangan aparat kita bekerja pakai prinsip nelayan. Kalau belum jelas ikannya, malas angkat jaring. Tapi kalau sudah tampak hasil tangkapan, baru mereka sigap lempar pukat. Ironisnya, motor bapak saya yang hilang dua tahun lalu, meskipun sudah dilaporkan resmi, tak juga ditangani. Padahal kalau mau, itu ikan segar yang tinggal dijaring. Tapi ya itu tadi—kalau tak ada tontonan dramatis, hukum kita lebih suka tidur siang.
Join the conversation