Politik Menurut Kelas Genduren
Di sebuah kampung yang tak tercatat dalam brosur pariwisata, tapi cukup hidup dalam ingatan warganya, terjadi sesuatu yang mengusik rasa tenang: pencurian gabah. Bukan satu karung dua karung, tapi berkarung-karung, dari beberapa rumah. Peristiwa itu menimbulkan gelombang kehebohan yang menyapu semua lapisan—dari anak-anak yang belum lurus lidahnya, sampai para embah yang sudah kabur ingatannya tapi masih tajam perasaannya.
Karena di kampung itu, gabah bukan sekadar hasil panen. Ia adalah perpanjangan tangan dari kesabaran, doa, dan keringat yang dikeringkan matahari. Gabah adalah simbol ketekunan hidup. Mencuri gabah, dengan demikian, lebih dari sekadar mengambil barang. Ia seperti mencuri makna hidup orang lain. Mungkin bahkan lebih parah dari menendang sesajen di punden—karena gabah adalah sesajen itu sendiri.
Maka desas-desus pun tumbuh liar, seperti rumput di pekarangan kosong. Nama Tejo Tato disebut—pemuda bertato yang lebih banyak duduk di warung ketimbang kerja. Nama Karto Gembel pun tak luput—pernah mencuri sepeda jengki, dan karena itu dianggap punya bakat mengulangi perbuatan serupa. Di kampung, reputasi berjalan lebih cepat daripada pembuktian. Kebenaran bukan soal fakta, tapi siapa yang paling dulu dicurigai.
Warga mulai berspekulasi. Mereka sadar, menjual gabah dalam jumlah besar akan menarik perhatian. Maka, logikanya: gabah pasti ditimbun. Dan benar saja, beberapa hari kemudian ditemukan tumpukan gabah di belakang rumah Karto Gembel. Maka semua berjalan seperti skrip murahan: Karto digiring ke rumah orang paling "berilmu", Kaji Majusi—tokoh kampung yang kata-katanya setara hukum kitab suci.
Di hadapan Kaji, Karto bersikukuh tak bersalah. Ia merasa dituduh melakukan hal yang bahkan dalam batinnya pun ia anggap terlarang. “Gabah bukan sekadar makanan,” katanya. “Ia sakral. Menyentuhnya dengan niat buruk, sama saja menggugat kemurahan Dewi Sri.” Dalam dunia Karto Gembel, mencuri gabah bukan hanya salah—ia adalah dosa metafisik.
Lalu, muncul pengakuan. Tejo Tato, dengan suara lirih, mengaku bahwa dirinyalah yang menyembunyikan gabah atas perintah Kaji Majusi sendiri. Rencananya sederhana dan licin: timbun dulu, jual sedikit-sedikit, dan kalau situasi memburuk, Karto tinggal dijadikan tumbal. Sederhana. Efektif. Dan sungguh manusiawi—jika kita mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang pintar memindahkan beban salah.
Hari berlalu. Sebuah kenduri tujuh bulanan digelar. Tapi Kaji Majusi absen. Warga bergumam, sebagian berbisik, sebagian tak tahan untuk tidak nyinyir. “Pancen, Kaji Majusi kuwi politisi tulen. Nyolong, tapi barang colongane didekek neng omah liyo. Sing disalahke yo wong liyo. Sempurna.”
Bagi masyarakat kelas genduren, seperti itulah wajah politik: kemampuan mengatur skenario agar kejahatan menjadi samar dan tuduhan jatuh pada yang tak berdaya. Politik bukan sekadar strategi kekuasaan. Ia adalah seni memperhalus kebohongan dan mengalihkan luka. Maka jangan heran jika rakyat kecil mencibirnya. Karena bagi mereka, politik bukan perkara benar atau salah. Politik adalah comberan gagasan yang menetes ke piring nasi mereka, tanpa pernah mereka minta.
Dan seperti comberan, politik bukan sesuatu yang dibersihkan—melainkan dihindari. Karena di negeri seperti ini, bukan kejujuran yang menyelamatkanmu, tapi seberapa cekatan kamu menaruh kesalahan di pekarangan orang lain.
Join the conversation