Air Gula dan Penjajahan yang Dingin

Coca‑Cola adalah air gula. Tapi ia bukan sekadar cairan manis berkarbonasi. Ia adalah lambang dari penjajahan modern

Ada masanya ketika penjajahan datang lewat serdadu dan senapan. Tapi zaman berubah. Kini ia hadir lewat kulkas mini dan promosi "segarnya kebersamaan".

Coca‑Cola adalah air gula. Tapi ia bukan sekadar cairan manis berkarbonasi. Ia adalah lambang dari penjajahan modern—produk yang tampak remeh, murah, dan menyegarkan, namun membawa serta nilai-nilai asing yang diam-diam menggantikan yang lokal.

Ivan Illich sudah mengingatkan sejak awal: niat baik adalah kuda Troya. Terutama ketika dibawa masuk ke negeri-negeri miskin yang katanya perlu “dibangun”. Tapi yang dibangun seringkali bukan otonomi, bukan martabat, bukan daya hidup. Yang dibangun adalah selera palsu. Ketergantungan. Dan tentu saja: pasar.

Jamu Digusur Dengan Senyum

Dulu anak-anak diberi jamu: pahit, tapi menyadarkan. Sekarang mereka disuguhi air gula dalam botol: manis, dingin, dan menyesatkan.

Kita tidak sedang haus. Kita sedang diajari untuk merasa haus. Bukan karena kekurangan cairan, tapi karena dicekoki iklan bahwa hidup yang baik itu yang berbuih, berlabel, dan berbunyi pssssst saat dibuka.

Illich menyebut ini sebagai bentuk penjajahan simbolik. Di mana sebuah produk tidak hanya menggantikan barang, tapi menggantikan nilai. Ia mengusir air kendi, bukan karena lebih sehat, tapi karena tidak punya merek dagang.

Kemajuan Sebagai Kabar Baik dari Pabrik

Konon pembangunan membawa pencerahan. Tapi mengapa yang lebih dulu sampai ke desa bukan sekolah, bukan perpustakaan, tapi botol Coca‑Cola?

Karena Coca‑Cola tidak sekadar air gula. Ia adalah doktrin. Bahwa yang dibungkus plastik lebih baik dari yang dibungkus daun. Bahwa yang didinginkan lebih meyakinkan dari yang ditanak. Bahwa yang dari luar—yang global—lebih patut dipercaya daripada yang dari dalam.

Kita tidak sedang menikmati minuman. Kita sedang menjalani liturgi modernitas. Meneguk air gula seperti menerima sakramen: kecil, manis, penuh janji. Tapi di baliknya, tubuh kita dirampas, lidah kita dikurung, dan imajinasi kita dijajah.

Penutup: Kemasan Dulu, Kesadaran Nanti

Kita hidup di zaman di mana Coca‑Cola bisa hadir di hutan sebelum listrik masuk secara merata. Di mana air galon ditukar dengan "soft drink" bersoda. Di mana niat baik bisa datang dalam bentuk kardus bantuan berisi botol dingin.

Illich tidak sedang membenci minuman ringan. Ia sedang membongkar bagaimana sebuah dunia bisa dihancurkan secara perlahan—bukan oleh peluru, tapi oleh iklan. Bukan dengan paksaan, tapi dengan kesepakatan yang dibentuk oleh rasa manis dan kulkas.

Dan kita? Kita ikut berpesta. Menari di atas puing-puing jamu, sambil memposting foto botol dingin dengan caption “me time.”