Air Mata Sponsorship: Penderitaan Sebagai Komoditas

Refleksi tentang etika di balik iklan donasi digital dan penderitaan yang dijadikan komoditas visual.

 


Di satu pagi yang biasa, kita menggulir linimasa, melihat satu per satu potongan hidup orang lain. Ada tawa, ada berita, ada promosi, lalu tiba-tiba: wajah seorang anak, pucat, terbaring. Judulnya: "Bantu adik ini sembuh, sejenak klik untuk selamanya."

Kita diam. Mungkin tergugah, mungkin juga merasa terganggu. Entah kenapa, yang muncul bukan rasa kasihan, tapi semacam dorongan batin untuk menoleh ke arah lain. Ada yang salah, tapi tak mudah menjelaskannya.

Yang kita lihat bukan sekadar ajakan donasi. Ia adalah panggung, lengkap dengan pencahayaan, narasi, dan panggilan moral yang dikemas rapi. Dan di tengah panggung itu, tubuh anak-anak yang seharusnya dilindungi justru tampil sebagai komoditas empati.

Representasi yang Mereduksi

Dalam banyak iklan “sponsored” di platform donasi digital, anak-anak dengan disabilitas atau penyakit berat kerap ditampilkan dengan wajah sendu, latar muram, dan tubuh yang ditonjolkan sebagai bukti penderitaan.

Foto-foto ini jarang mengandung penjelasan utuh. Mereka tidak menunjukkan konteks, tidak memberi ruang martabat. Tubuh yang rentan dijadikan alat untuk menggugah, dengan atau tanpa kesadaran penuh dari yang bersangkutan.

Ini bukan lagi dokumentasi penderitaan, tapi koreografi penderitaan. Kita tidak sedang diajak memahami, tapi dihasut untuk merasa—lalu klik dan transfer.

Ketika Amal Menjadi Hiperrealitas

Jean Baudrillard pernah mengingatkan bahwa di zaman ini, kita hidup dalam dunia hiperrealitas—di mana citra menggantikan realitas, dan yang penting bukan apa yang terjadi, tapi bagaimana itu ditampilkan.

Iklan donasi semacam ini adalah contoh nyata:
Yang dijual bukan penderitaan itu sendiri, tapi citra penderitaan.
Bukan perjuangan hidup seseorang, tapi potret kesedihan yang dapat dikonsumsi.

Kita menyumbang bukan karena tahu, tapi karena terharu. Bukan karena terlibat, tapi karena terjebak dalam narasi.

Estetika Kitsch: Ketika Kesedihan Dijadikan Dekorasi

Umberto Eco menyebut kitsch sebagai seni yang terlalu sentimental, terlalu indah untuk jadi nyata. Ia menyentuh, tapi dangkal. Mengharukan, tapi palsu.

Estetika kitsch ini kini menguasai banyak iklan donasi:
  • Musik latar yang menyayat
  • Kata-kata seperti “adik ini hanya ingin bisa berlari seperti teman-temannya”
  • Close-up wajah anak menangis di ranjang
Semua dirancang agar kita merasakan sesuatu, tanpa perlu berpikir. Tanpa perlu bertanya: bagaimana sistem kesehatan kita? Apa yang membuat keluarga itu tak sanggup? Di mana negara?

Kitsch membuat kita menangis, tapi lupa mengapa.

Amal sebagai Selfie Moral

Di ujung kampanye itu, tersedia QR code. Sekali klik, kita menyumbang. Lalu merasa sedikit lebih baik. Seolah dengan transfer Rp20.000, kita telah “berpihak”.

Inilah hiperrealitas kepedulian:
Kita tidak sedang membantu, kita sedang memperbaiki citra diri sendiri.
Amal menjadi semacam selfie moral—ringan, cepat, dan bisa dibagikan.

Padahal yang benar-benar dibutuhkan bukan sekadar empati instan, tapi perubahan sistemik. Dan itu tak bisa didapat dari iklan yang hanya menjual duka dengan sudut kamera yang tajam.

Lalu Apa?

Tentu, banyak kampanye yang benar-benar tulus. Banyak juga keluarga yang terbantu lewat donasi digital. Tapi kita tak boleh menutup mata terhadap satu kenyataan penting:
Ketika tubuh anak-anak dipajang demi performa simpati, ada garis etika yang dilanggar.

Penderitaan tidak boleh menjadi panggung. Kesedihan tidak boleh jadi alat promosi. Dan tubuh anak-anak tidak boleh ditampilkan tanpa perlindungan yang layak.

Yang kita butuhkan bukan hanya belas kasihan, tapi rasa hormat terhadap kemanusiaan—terutama mereka yang paling rentan.

Jika kita merasa terganggu saat melihat iklan-iklan itu, mungkin itu bukan karena hati kita keras. Tapi karena di dalam diri kita, masih ada sesuatu yang menolak ikut dalam kebohongan kolektif itu.

Dan rasa risih itu, bisa jadi adalah tanda awal dari nurani yang belum mati.