Pelajaran yang Tidak Mendidik dari Lembaga Pendidikan

Tentang cara sekolah merayakan prestasi murahan, tidak mendidik dan mencemooh profesi yang jujur.

Di banyak pagar sekolah, sering kali kita menemukan pemandangan yang hampir seragam. Baliho besar dipasang dengan bangga, memajang foto seorang alumni yang berseragam rapi, senyum lebar yang tampak sedikit kaku, ditemani kata-kata yang terdengar amat megah:

Selamat kepada Ananda yang diterima di TNI/POLRI! Kebanggaan almamater!

Mungkin di dalam hati, banyak yang bertepuk tangan. Akhirnya ada yang berhasil menembus profesi bergengsi. Akhirnya sekolah bisa pamer bahwa mereka tak sekadar mencetak ijazah, tapi juga prestise yang siap dipajang di brosur penerimaan murid baru.

Entah sejak kapan kita meyakini bahwa keberhasilan harus selalu tampil dengan seragam. Seakan-akan kebanggaan hanya boleh lahir dari jabatan yang memiliki pangkat. Sementara itu, alumni lain yang bekerja setiap hari merawat kebun tomat, memeras keringat untuk memanen puluhan ton demi menghidupi banyak keluarga, tak pernah diundang berfoto di baliho. Mereka tak pernah mendapat ucapan selamat yang sama. Barangkali karena seragam mereka terlalu sederhana, atau karena profesinya tak cukup gagah dijadikan iklan.

Lucunya, ketika ada satu-dua sekolah yang berani sedikit berbeda—memasang banner ucapan selamat bagi alumni yang diterima bekerja di Indomaret atau Alfamart—netizen langsung ramai berkomentar. Cemoohan datang berbaris lebih cepat daripada antrean belanja di kasir. Katanya, itu bukan prestasi, melainkan aib yang dipamerkan tanpa malu. Ada yang nyeletuk, “Prestasi kok kasir,” ada pula yang menertawakan, “Sekolah ini agen minimarket, ya?”

Kita mungkin bisa pura-pura kaget dengan reaksi itu. Tapi kalau mau jujur, itu hanya akibat dari keyakinan yang sudah lama kita tanam bersama. Sejak kecil, banyak dari kita dibesarkan dengan narasi keberhasilan yang sempit. Sukses itu harus berseragam, harus duduk di kantor yang sejuk, harus punya jabatan yang membuat orang berbisik kagum. Profesi lain hanya cadangan, pilihan darurat kalau hidup keburu kepepet.

Sekolah pun lebih sibuk mencetak citra ketimbang meneguhkan harga diri anak-anaknya. Banner dengan seragam resmi lebih gampang menaikkan pamor. Lebih mudah dijadikan bukti bahwa lembaga pendidikan itu bermutu. Apalagi kalau bisa dipamerkan di spanduk yang warnanya mencolok.

Padahal, kalau mau sedikit lebih waras, bekerja sebagai kasir atau beternak ayam tak pernah lebih rendah dari profesi lain. Hidup ini tak diukur dari seragam yang kita pakai, tapi dari niat dan kebermanfaatan yang kita berikan. Lucu rasanya ketika orang ramai merayakan jabatan yang kadang hanya menampakkan kebesaran di permukaan, sambil mencemooh kerja sederhana yang justru memberi makan banyak orang.

Bayangkan jika suatu hari sebuah sekolah memasang banner besar dengan tulisan,

Selamat kepada Ananda Sukardi, alumni petani ayam yang berhasil membuka lapangan kerja untuk dua puluh keluarga di desanya.

Mungkin orang akan nyinyir, “Halah, cuma ternak ayam.” Tapi kalau keberhasilan memang soal kebermanfaatan, siapa yang lebih layak dihormati? Seragam yang membuat orang kagum lima detik, atau kerja sunyi yang memberi penghidupan bertahun-tahun?

Ironisnya, cemoohan semacam ini menular. Anak-anak tumbuh dengan rasa takut gagal, takut jika profesinya tak cukup pantas dipamerkan di baliho. Mereka lupa bahwa bekerja dengan jujur dan memberi manfaat jauh lebih mulia daripada sekadar tampil meyakinkan di poster promosi sekolah.

Barangkali sudah saatnya kita belajar sedikit dewasa. Karena keberhasilan tak selalu tampil gagah. Kadang ia datang dalam wujud tangan petani yang kotor lumpur, jemari kasir yang sabar mengembalikan kembalian receh, atau punggung peternak yang letih memanggul karung pakan ayam. Dan semuanya sama-sama pantas dihargai. Sama-sama layak dirayakan, meski fotonya tak akan pernah tampak megah di tepi jalan.

Mungkin inilah pelajaran paling sederhana yang sering lupa diajarkan: bahwa martabat tidak tumbuh di papan reklame, tidak tumbuh di baliho yang terlalu serius. Martabat tumbuh dalam cara kita memberi makna pada kerja apa pun yang kita jalani. Dan di situlah keberhasilan yang sesungguhnya—yang tak perlu lampu sorot atau komentar netizen untuk membuatnya bernilai.