Alih Status IAIN menjadi UIN: Jalan Pintas yang Membingungkan
Dalam satu dekade terakhir, kita menyaksikan fenomena yang cukup masif: alih status berbagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Di permukaan, ini tampak seperti kemajuan: sebuah langkah menuju modernisasi, perluasan bidang ilmu, dan pengakuan yang lebih luas dari masyarakat. Namun, bila kita telaah lebih dalam, alih status ini justru membuka kotak pandora dari kerancuan sistemik dalam pendidikan tinggi kita—terutama dalam menyikapi relasi antara tradisi keilmuan Islam dan tantangan akademik kontemporer.
Apakah alih status itu memang demi peningkatan mutu? Ataukah hanya sebentuk citra, demi mengejar gengsi dan akreditasi semu?
Kegamangan Identitas Akademik
IAIN lahir dengan misi yang jelas: mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang terintegrasi dengan semangat keilmuan klasik dan kontemporer. Ketika berubah menjadi UIN, institusi tersebut mulai menawarkan program-program umum—teknik, ekonomi, psikologi, bahkan kedokteran. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, perlu disadari bahwa transformasi ini menimbulkan konsekuensi identitas yang serius.
Mahasiswa yang semula ingin mendalami ilmu-ilmu agama kini berbaur dalam suasana kampus yang mengedepankan “dunia industri”. Dosen keagamaan yang sebelumnya menjadi poros keilmuan kini dipinggirkan oleh kebijakan yang mengejar kuota jurnal, hibah riset internasional, dan kompetensi global. Ilmu agama menjadi pelengkap saja—bukan lagi ruh utama.
Ketimpangan Akses dan Kualitas
Tidak semua kampus UIN baru memiliki kapasitas yang layak untuk menyelenggarakan pendidikan umum. Banyak dosen belum memiliki latar belakang akademik di bidang yang diajarkan. Sarana laboratorium, literatur, dan jejaring riset pun masih minim. Ironisnya, alih status ini lebih sering menjadi alat politik lokal atau simbol kemajuan palsu, alih-alih solusi bagi pemerataan akses pendidikan.
Sementara itu, kampus-kampus swasta dan negeri unggulan tetap melaju dengan dukungan anggaran yang besar dan jaringan global. Di sisi lain, UIN hasil konversi sering terseok-seok, terjebak dalam paradoks antara idealisme akademik dan tuntutan administratif.
Ketika Nama Meninggi, Akses Justru Menyempit
Tak bisa kita pungkiri: perubahan status IAIN menjadi UIN sering kali diikuti dengan perubahan gaya—bukan hanya substansi. Gedung menjulang, branding diperbarui, jargon akademik makin canggih. Tapi bagi anak petani di pelosok desa, semua itu justru terasa makin jauh.
Biaya kuliah yang naik seiring meningkatnya "status", pembelian seragam untuk kampus yang makin "modern", kebutuhan perangkat digital, hingga tekanan untuk memiliki IPK tinggi demi beasiswa—semuanya menjadi tekanan baru yang tak ringan bagi keluarga miskin. Alih status institusi seharusnya tidak mempersempit ruang bagi rakyat miskin untuk naik derajat.
Dulu, IAIN dikenal sebagai tempat berlabuhnya anak-anak pesantren dan masyarakat kelas bawah yang ingin melanjutkan pendidikan tanpa rasa takut ditolak oleh kemewahan dunia akademik. Kini, dengan berubahnya nama menjadi UIN, citra itu perlahan memudar. UIN mulai mirip dengan universitas negeri lainnya—terbuka, ya, tapi tak semua bisa masuk tanpa berkorban begitu banyak.
Pendidikan Tinggi yang Membumi
Jika benar transformasi ini ingin membuka ruang ilmu yang lebih luas, maka sudah selayaknya UIN baru ini menjamin keberpihakan nyata terhadap kelompok miskin dan terpinggirkan. Bukan sekadar beasiswa simbolik, tapi sistem dukungan berlapis:
- Biaya kuliah yang fleksibel
- Ketersediaan asrama murah
- Sistem subsidi silang yang adil
- Pendekatan akademik yang menghargai pengalaman hidup rakyat kecil
Karena pendidikan, terutama yang berlabel "Islam", tidak seharusnya menjadi alat penyaringan kelas sosial. Ia semestinya menjadi jembatan: mengangkat harkat manusia, bukan meninggalkannya dalam ketertinggalan.
Penutup: Refleksi untuk Masa Depan
Alih status adalah pilihan strategis, tapi ia harus didasari pada refleksi yang jernih, bukan sekadar ambisi administratif. Kita perlu menimbang ulang: apakah yang kita kejar dalam pendidikan tinggi? Apakah sekadar nama, peringkat, dan akreditasi? Ataukah sebuah sistem yang mendidik manusia secara utuh—akal, hati, dan moralnya?
Jangan sampai dalam mengejar gelar dan status, kita justru kehilangan substansi. Jangan sampai rakyat—yang sesungguhnya cerdas dan penuh potensi—kembali menjadi korban dari keputusan yang tidak berpihak pada mereka.
Pendidikan harus menjadi jalan keluar, bukan jalan buntu. Terutama bagi mereka yang selama ini hanya menatap bangku kuliah dari balik jendela mimpi.
Join the conversation