Bukan Soal Gelar, Tapi Keberpihakan
Perbedaan antara sarjana dan intelektual dalam pemikiran Ali Shariati
Di negeri ini, orang bersekolah tinggi makin banyak. Gelar akademik bertambah panjang, seminar-seminar makin ramai, kampus makin megah. Tapi di waktu yang sama, ketidakadilan makin menjalar, suara kebenaran makin sunyi. Lalu kita bertanya dalam hati, ada apa dengan pendidikan kita?
Ada satu pemikiran yang terasa relevan sekali dalam membaca situasi ini—datang dari Ali Shariati, pemikir Muslim asal Iran yang gelisah terhadap bangsanya sendiri. Ia membedakan dengan tegas antara dua jenis manusia berpengetahuan: sarjana dan intelektual. Bedanya bukan pada seberapa banyak buku yang dibaca, tapi pada keberpihakan dan rasa tanggung jawab terhadap sesama.
Sarjana: Produk Pabrik Pengetahuan
Sarjana—dalam pandangan Shariati—adalah orang yang memiliki pengetahuan dalam satu bidang tertentu. Ia mungkin tahu segalanya tentang teknik sipil, hukum pidana, atau ekonomi makro. Tapi pengetahuan itu hanya berhenti pada tataran teknis. Ia tidak bertanya, untuk siapa pengetahuan ini bekerja? Siapa yang diuntungkan, siapa yang didera?
Sarjana adalah lulusan sistem pendidikan yang lebih mirip pabrik: mencetak orang-orang cakap secara profesional, tapi tanpa kesadaran sosial. Ia bisa jadi pejabat, konsultan, atau dosen, tapi tetap tak menyadari bahwa ilmunya bisa digunakan untuk mempertahankan ketimpangan yang justru ia keluhkan.
“A scholar is someone who knows, but an intellectual is someone who feels the pain of the people.”
Sarjana tahu, tapi bisa jadi tak peduli.
Intelektual: Mereka yang Berpihak
Berbeda dengan sarjana, intelektual adalah mereka yang tidak hanya membaca realitas, tapi ikut merasakannya. Shariati menyebutnya roshanfekr, yang berarti "yang tercerahkan". Bukan tercerahkan karena cemerlang di kelas, tapi karena mampu melihat relasi kuasa di tengah masyarakat dan memilih berpihak pada mereka yang dilemahkan.
Intelektual bisa jadi tidak punya gelar tinggi. Ia bisa seorang petani, aktivis, atau bahkan buruh pabrik. Tapi ia punya kesadaran bahwa ketimpangan tidak boleh dibiarkan, bahwa ilmunya harus menjadi alat perjuangan, bukan sekadar karier.
Intelektual, kata Shariati, tidak netral. Karena netralitas di tengah ketidakadilan sama saja dengan keberpihakan pada penindas. Ia tak hanya bicara, tapi hadir. Ia tak hanya menganalisis, tapi berjuang.
Kampus: Pusat Pengetahuan yang Kerap Bisu
Shariati tidak bicara dari ruang hampa. Ia menyaksikan bagaimana kampus di zamannya berubah menjadi tempat steril dari pergulatan sosial. Di Indonesia, kita pun tak asing dengan fenomena ini. Banyak universitas besar yang justru kaku dalam bersikap ketika masyarakat sedang dihimpit masalah. Mahasiswa yang bicara dianggap pembangkang, dosen yang kritis dicurigai.
Kita mencetak ribuan sarjana setiap tahun, tapi tidak tahu harus ke mana membawa mereka. Banyak dari mereka masuk ke dalam sistem birokrasi yang justru ikut melanggengkan ketimpangan. Sisanya bekerja di perusahaan yang mengeksploitasi tenaga murah dengan dalih efisiensi.
Pendidikan tinggi yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, justru kehilangan arah. Ia tak lagi menjadi mercusuar nurani, tapi hanya jadi tangga mobilitas sosial.
Munir Mulkhan dan Kesadaran yang Membumi
Di Indonesia, Munir Mulkhan pernah menawarkan gagasan tentang “agama rakyat”—yakni kesadaran keberagamaan yang tidak lahir dari langit wacana elite, tapi dari bumi pengalaman orang-orang kecil. Pandangan ini selaras dengan semangat Shariati: bahwa ilmu dan iman seharusnya hadir untuk membebaskan, bukan memberatkan.
Bagi Mulkhan, intelektual adalah mereka yang menghayati kehidupan rakyat, bukan mereka yang sibuk berbicara di seminar. Intelektual tidak hanya membaca buku, tapi juga membaca pasar, membaca sawah, membaca wajah-wajah gelisah di lorong kampung. Karena dari sanalah letak kebenaran yang sering disembunyikan statistik dan grafik.
Menjadi Intelektual, Bukan Sekadar Lulus Kuliah
Kita hidup di zaman ketika gelar akademik bisa dibeli, tapi empati tidak bisa dipalsukan. Ketika kampus-kampus kita penuh prestasi, tapi sunyi dalam nurani. Kita tak kekurangan sarjana, tapi defisit intelektual.
Maka jalan intelektual hari ini bukan jalan yang mudah. Ia tidak populer. Ia tidak selalu digaji. Tapi ia perlu dilakoni oleh siapa pun yang merasa bahwa ilmu dan iman seharusnya menggerakkan kaki, bukan sekadar memenuhi kepala.
Ali Shariati pernah berkata, “Tanggung jawab terbesar intelektual adalah menjawab kebutuhan spiritual dan material rakyatnya, dengan menyadari sejarah dan keberpihakan.” Di masa di mana kata-kata banyak, tapi keberanian langka—mungkin sudah saatnya kita bertanya: selama ini kita jadi sarjana, atau berusaha jadi intelektual?
Daftar Pustaka
- Shariati, Ali. Tugas Seorang Intelektual Muslim. Terjemahan dari \"The Responsibilities of the Muslim Intellectual\".
- Shariati, Ali. Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique. Mizan Press.
- Mulkhan, M. A. Munir. Menjadi Intelektual: Jalan Sunyi Kaum Beriman. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
- Farid, Hilmar. \"Intelektual dan Kekuasaan\". Dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, Gramedia, 2015.
Join the conversation