Dua Puluh Lima Juta Rupiah Sebulan untuk Azzam dan Tagihan Listrik Kita

Rasa cukup, kebahagiaan sederhana, dan ironi statistik kemiskinan di Indonesia.

Azzam, anak seorang artis kenamaan—Kang Sule—menjadi buah bibir. Bukan karena sensasi, bukan pula karena prestasi. Tapi karena angka. Angka yang menempel padanya sejak ia belum pandai bicara: dua puluh lima juta rupiah per bulan.

Itu adalah angka nafkah yang diberikan ayahnya. Angka yang membuat sebagian orang berdecak, sebagian lagi mengangkat bahu, dan sebagian sisanya hanya menunduk… sambil melipat struk listrik yang belum terbayar.

Katanya, jumlah itu masih belum cukup. Untuk keperluan anak. Untuk kebutuhan dasar. Untuk hidup yang layak.

Tapi... layak menurut siapa?

Karena di luar sana, ada keluarga kecil yang hidup dengan 75 ribu rupiah seminggu. Membeli beras eceran, minyak dalam plastik bening tanpa merek, dan sabun batang yang dipotong dua agar awet. Mereka tidak pernah berpikir soal les piano atau daycare ber-AC.

Mereka cukup jika bisa makan dua kali. Sudah senang jika listrik tak diputus PLN. Bahagia itu sesederhana tagihan yang tak menumpuk.

Maka wajar bila muncul tanya yang pelan tapi menusuk:
Jika 25 juta tak cukup untuk satu anak, bagaimana bisa 50 ribu cukup untuk satu keluarga?

Tapi begitulah cara dunia bekerja—dalam garis-garis tak kasat mata yang membelah realitas. Satu sisi mengukur “cukup” dengan standar supermarket premium, satu sisi lain mengukur “cukup” dari sisa uang setelah beli LPG tiga kilo.

Di rumah-rumah kecil yang dindingnya dari gedheg dan lantainya masih tanah, rasa cukup tidak datang dari angka.
Cukup itu saat anak-anak bisa tidur nyenyak meski tak ada pendingin ruangan.
Cukup itu saat nasi hangat bisa dibagi rata meski tanpa lauk.
Cukup itu saat tagihan listrik bulan ini tidak melonjak karena TV tidak dinyalakan terlalu lama.

Lucunya, di tempat-tempat seperti itu, justru tawa terdengar lebih renyah. Bukan karena hidup mudah, tapi karena mereka tak menuntut banyak. Tak mengharap lebih dari yang bisa dijangkau tangan.

Bahagia, ternyata, tidak harus datang dari sesuatu yang bisa dibeli.
Kadang ia tumbuh dari keterbatasan yang diterima, dari rutinitas sederhana yang tidak dipaksa lebih.
Sementara di sisi lain, ada yang terus menumpuk, mengejar, dan mengeluh: “Masih kurang.”

Rasa cukup, pada akhirnya, bukan tentang seberapa banyak yang dimiliki, tapi seberapa sedikit yang masih terus diingini.

Di banyak rumah sederhana, keinginan itu tak sempat tumbuh liar. Ia dirawat dengan kenyataan.
Mereka tahu, tak semua hal harus dimiliki. Tak semua yang tampak di iklan harus dicoba. Dan tidak semua impian harus dibayar dengan utang.

Maka cukup itu bukan jumlah.
Cukup adalah ketenangan hati saat tahu batas.
Cukup adalah ketidakbanyakan keinginan.

Dan justru di tempat-tempat seperti itulah, rasa bahagia tumbuh dengan wajar. Bahagia yang tak bersumber dari saldo, tapi dari selera yang dijinakkan.
Dari syukur yang dibesarkan.
Dari hidup yang tak selalu menengadah ke layar—ke berita, ke postingan, ke angka-angka besar yang entah milik siapa.

Di negeri ini, terlalu banyak yang dinilai dari angka. Nafkah ditakar jutaan, kemiskinan dihitung dalam desimal, dan kebahagiaan dinarasikan lewat iklan.

Tapi angka-angka itu seringkali tidak mewakili kenyataan. Tidak mewakili wajah-wajah yang tetap tersenyum walau tak punya banyak.

Sebab rasa cukup bukan soal banyaknya isi dompet, melainkan sedikitnya beban keinginan. Dan bahagia tidak datang dari katalog, tapi dari keikhlasan menerima apa adanya.

Maka, mungkin... salah satu celah menuju kebahagiaan sederhana justru dimulai dari hal paling sepele:
Mematikan televisi.
Menutup gawai.
Berhenti melihat iklan.

Dan mulai melihat sekeliling—tempat di mana 50 ribu masih bisa dibagi tiga, dan anak-anak tertawa meski hanya bermain pasir di halaman.

Di tempat-tempat seperti itulah, statistik kehilangan kuasanya.
Karena menurut BPS, mereka bukan orang miskin—padahal mereka belum tentu tahu besok bisa makan apa.

Tapi tak apa. Kita berbagi kebahagiaan saja. Termasuk kebahagiaan kecil melihat betapa lucunya cara negara ini menghitung angka kesejahteraan rakyatnya.