Grebeg Suro, Bagi Saya

Grebeg Suro di Ponorogo adalah perayaan yang meriah. Tapi bagi saya, 1 Suro datang seperti tanggal-tanggal biasa: tetap dompete tipis

Grebeg Suro di Ponorogo adalah perayaan yang meriah. Kirab pusaka, Festival Reog Nasional, larungan, musik jalanan, malam tirakatan. Kota mendadak menjadi panggung. Tapi bagi saya, 1 Suro datang seperti tanggal-tanggal biasa: tetap saja dompete tipis.

Tentu saja bukan itu masalahnya. Intinya bukan di kantong yang cekak, tapi lebih ke arah perasaan: saya tidak merasa terhubung. Bukan karena tidak suka budaya, bukan karena anti keramaian. Tapi mungkin memang dari sananya saya tidak pandai menikmati gegap gempita. Atau bisa jadi, saya memang punya riwayat alergi terhadap suara sound system di tempat terbuka.

Saya tahu, perayaan seperti ini penting. Ada sejarah yang panjang. Ada upaya melestarikan budaya, menyatukan identitas, dan menyambung ingatan kolektif warga. Tapi saya selalu berada di posisi yang canggung: tidak cukup bergairah untuk datang, tidak cukup cuek untuk mengabaikan. Saya hanya menonton dari jauh. Lewat video. Lewat berita. Lewat obrolan orang lain. Dan jujur saja, saya merasa lebih nyaman begitu.

Saya pernah merasa aneh dengan sikap itu. Kenapa tidak bisa antusias seperti yang lain? Kenapa tidak bisa larut dalam suasana? Tapi makin ke sini, saya menerima bahwa mungkin ini hanya soal watak. Ada orang yang tumbuh di tengah barisan reog. Ada juga yang merasa lebih cocok duduk di tepi, sambil menyeruput teh dan mendengar suara dari kejauhan.

Toh, bukan berarti saya tidak menghargai Grebeg Suro. Justru saya tertarik pada lapisan maknanya. Sejarahnya. Ketika Betara Katong datang ke Ponorogo, bukan dengan kekerasan, tapi dengan pendekatan budaya. Reog yang dulu dianggap simbol perlawanan, dilestarikan. Kirab pusaka dijadikan ruang kontemplasi. Larungan menjadi bentuk syukur. Reog tidak dihapus, tapi dijadikan jalan dakwah. Itulah kekuatan kebudayaan: menyerap, bukan menolak. Menyambung, bukan memutus.

Dalam tradisi Islam, 1 Muharram bukan sekadar tanggal baru. Ia adalah momen hijrah. Bukan hanya berpindah tempat, tapi berpindah cara hidup. Dari gelap menuju terang. Dari sibuk menjadi sadar. Dari gaduh menuju jernih. Dan di banyak pesantren Jawa, malam 1 Suro adalah waktu laku batin: tirakatan, zikir, menyepi. Bukan hura-hura. Bukan pesta suara.

Jadi kalau hari ini sebagian orang berkumpul di alun-alun, dan saya justru memilih tidak ke mana-mana, itu bukan bentuk penolakan. Hanya bentuk lain dari cara saya menghargai. Mungkin saya tidak ikut kirab, tapi saya membaca sejarahnya. Mungkin saya tidak menonton Reog langsung, tapi saya menyimak maknanya. Mungkin saya tidak ikut malam tirakatan, tapi saya menulis catatan ini — sebagai bentuk lain dari tirakat.

Bukan karena sok suci. Bukan pula karena merasa lebih dalam dari yang ramai. Saya hanya merasa tidak cocok. Dan bisa jadi, saya memang punya sedikit trauma pada keramaian. Bukan luka besar. Bukan cerita pilu. Mungkin hanya karena dulu waktu kecil pernah hilang di pasar malam, lalu suara speaker jadi terasa terlalu dekat sampai sekarang.

Atau memang karena saya lebih senang menonton keramaian sebagai penonton. Menikmati suara dari kejauhan. Menyerap makna tanpa harus ikut bersorak.

Saya percaya, tiap orang punya caranya sendiri dalam menyambut Suro. Ada yang merayakan dengan iring-iringan, ada yang mengheningkan cipta. Ada yang larut dalam sorak, ada yang menulis diam-diam di sudut meja. Dan semuanya sah.

Jadi jika Grebeg Suro adalah panggung besar yang penuh warna, biarkan saya menjadi salah satu penontonnya yang duduk paling pinggir. Tidak bersorak. Tidak berdiri. Tapi memperhatikan. Dengan diam yang tidak dingin. Dengan jarak yang tidak asing. Dengan sunyi yang tetap menghargai ramai.

Itulah cara saya merayakan 1 Suro.

Dan barangkali pula, jangan sampai tirakatan kita hanya jadi formalitas. Zikir dan doa sepanjang malam, tetapi selepasnya kembali ke rutinitas lama: menindas, menyuap, dan menyelipkan anggaran. Tirakat boleh sunyi, tapi jangan sampai sunyi dari makna.

Hallah... wong padine arep korupsi, nggak enek sing dikorupsi. :D