Mbok Menowo Gusti Allah Ki Enek

enapa tetap berbuat baik dan bermanfaat, meski dunia tak adil. Karena bisa jadi, Allah hadir

Ada orang yang berbuat baik karena diajari agama.
Ada yang terbiasa membantu karena bapak-ibunya orang baik.
Ada juga yang mencari rasa damai dengan cara menolong orang lain.

Tapi tak sedikit pula yang memilih berhenti.
Berhenti melakukan hal baik. Berhenti bermanfaat. Berhenti peduli.

Karena lelah.
Karena sering dimanfaatkan.
Karena merasa semua sia-sia.

Kalau pun ditanya:
“Lho, kenapa nggak bantu?”
“Kenapa tidak menyisakan sedikit waktu, uang, tenaga, ide, untuk yang lain?”

Maka jawabnya bisa panjang, dan kadang menyakitkan:
“Orang yang ditolong kadang tidak tahu diri.”
“Yang kamu bantu sekarang, besok bisa jadi yang menjatuhkanmu.”
“Berbuat baik itu lelah. Dan tak selalu dihargai.”

Dan, ya, mereka ada benarnya.
Dunia ini kadang tidak adil terhadap orang yang ingin berguna.
Yang tulus sering kalah dengan yang lihai.
Yang ikhlas sering disalip yang niat pansos.
Yang membantu tanpa pamrih sering dianggap bodoh.

Lalu kita mulai berpikir:
Kenapa kita berusaha menjadi orang yang baik?
Untuk siapa? Untuk apa?

Tapi barangkali, justru di titik inilah iman diuji.
Bukan iman pada dalil, tapi pada kemungkinan.
Pada harapan kecil yang mungkin tak rasional,
tapi cukup untuk membuat kita tetap bergerak:

“Mbok menowo Gusti Allah ki enek.”
Siapa tahu Gusti Allah itu memang ada.

Siapa tahu kebaikan yang kita lakukan diam-diam itu
ternyata berdampak besar bagi hidup orang lain.
Siapa tahu tenaga yang kita sisihkan itu
justru jadi sebab seseorang bertahan hari itu.
Siapa tahu sesuatu yang tak kita anggap penting
ternyata menjadi amal paling besar dalam hidup kita—karena dilakukan tanpa pamrih.

Jika ada yang bertanya:
“Nyapo kok iseh ngrewangi wong?”

Jawaban kita bukan ceramah, bukan kutipan tokoh, bukan ayat yang dihafal.

Cukup satu gumaman lirih:

“Mbok menowo Gusti Allah ki enek.”

Kalau Gusti Allah memang ada,
maka hidup yang berguna akan selalu punya nilai.
Bahkan jika tak dilihat orang. Bahkan jika tak dibalas dunia.

Dan jikapun—jikapun—Gusti Allah ternyata tidak ada,
setidaknya kita sudah berbuat baik.
Setidaknya kita telah memilih untuk berguna.

Sebab boleh jadi, Allah hadir justru di ruang-ruang kosong yang tampak sunyi ditengah-tengah "mbok menowo".


Menjadi orang baik bukan karena dunia ini baik.
Tapi karena kita tak mau sepenuhnya menjadi bagian dari kebusukan yang kita benci.

Dan kalau kamu mulai ragu, mulai letih, mulai ingin berhenti,
cukup bisikkan pada dirimu sendiri:

“Mbok menowo Gusti Allah ki enek.”

Siapa tahu… itu juga cukup.