Ketika Qasidah Bertemu Nietzsche
اَلْعَقْلُ وَمَا وَمَا لِمَا يُرِيْدْ، وَالنَّفْسُ قَالَتْ هَلْ مِنْ مَزِيْدْ
“Akal menahan keinginan, sementara nafsu bertanya: ‘Adakah yang lebih?’”
Ada kalanya manusia merasa telah memiliki segalanya, namun tetap saja kosong. Bukan karena kekurangan, melainkan karena keinginan tak kunjung berhenti. Perasaan "tidak cukup" itu seperti orang haus yang meminum air laut—semakin diminum, semakin haus.
Sebuah analogi yang dalam, yang ditemukan baik dalam tradisi qasidah Islam maupun dalam pemikiran Barat modern, khususnya filsafat Nietzsche.
Nafsu yang Tak Kenal Batas
Banyak ulama menggambarkan nafsu sebagai kecenderungan yang terus menuntut lebih. Ia seperti anak kecil yang tidak mengenal kenyang. Bahkan setelah diberi satu, ia meminta dua. Diberi dunia, ia menatap langit.
Dalam bait qasidah klasik disebutkan:
“Akal membatasi, nafsu terus bertanya: ‘Apakah masih ada tambahan?’”
Makna bait ini mencerminkan pertarungan batin yang dialami semua manusia: antara akal yang mempertimbangkan dampak jangka panjang, dan nafsu yang mengejar kepuasan sesaat.
Nietzsche dan Kehendak untuk Berkuasa
Jika dalam tradisi Islam kita berbicara tentang nafsu, maka dalam filsafat Nietzsche dikenal konsep "der Wille zur Macht" – kehendak untuk berkuasa. Menurut Nietzsche, manusia bukan semata-mata makhluk pencari kebenaran atau kebahagiaan, tetapi makhluk yang terdorong oleh dorongan untuk menegaskan diri, mendominasi, dan melampaui dirinya sendiri.
Kehendak ini tidak jauh berbeda dari nafsu. Namun Nietzsche tidak melihatnya sebagai sesuatu yang perlu dibunuh, melainkan dikendalikan dan ditransformasikan menjadi kekuatan kreatif.
Keinginan yang Tak Pernah Cukup
Baik dalam pendekatan sufistik maupun dalam analisis Nietzschean, muncul satu simpulan yang sama: keinginan yang tak terbatas justru akan menjerat jiwa.
Saat seseorang mengejar validasi tanpa henti—pengakuan sosial, materi, kekuasaan—yang muncul bukan kedamaian, tapi kegelisahan. Nietzsche menyebut kegelisahan ini sebagai ciri manusia yang belum mencapai Übermensch—manusia yang telah melewati tahap ketergantungan pada nilai eksternal dan menemukan makna dari dalam dirinya.
Sedangkan dalam perspektif Islam, orang seperti ini digambarkan sebagai hamba nafsunya, bukan hamba Tuhannya.
Join the conversation