Sadbor, Pejabat, dan Kebodohan yang Dipertontonkan
Kita hidup di zaman yang aneh. Orang berjoget di TikTok disalahkan karena dianggap tidak mendidik, tidak punya malu dan bodoh, sementara orang berkemeja rapih di kursi kekuasaan bisa mengeluarkan kebijakan ngawur, hampir tanpa riset yang serius, tanpa memahami akar masalah juga tanpa merasa bersalah. Lalu, siapa sebenarnya yang sedang mempertontonkan kebodohan?
Sadbor, tarian jalanan ala bapak-bapak, jadi simbol rakyat kecil yang kehabisan pilihan. Mereka bukan seleb, bukan tokoh, hanya orang biasa yang mencoba bertahan hidup dengan cara yang bisa mereka lakukan. Mereka mungkin tidak punya gelar akademik, tapi mereka masih tahu malu. Mereka masih segan kalau dianggap menipu orang lain.
Sementara itu, di ruang-ruang kekuasaan, pejabat bisa membuat kebijakan yang mencabut hak dasar rakyat—tanpa data yang kuat, tanpa empati, bahkan tanpa akal sehat. Dan mereka melakukannya dengan senyum percaya diri. Tanpa malu. Ini bukan bodoh biasa. Ini kebodohan yang dilembagakan.
Tidak, ini bukanlah semata-mata membela sadbor hingga mendukung orang melakukannya. Sebab masih banyak hal yang lebih pantas dari itu. Akan tetapi, perilaku pejabat saat ini sudah tidak lagi pantas jika dibandingkan sadbor. Sebab perilaku mereka disebut "tidak pantas" saja belum bisa.
Kita pun teringat kutipan tajam yang kerap dinisbatkan pada Franz Kafka, meski sesungguhnya berasal dari pemikir Italia, Leo Longanesi:
“Un cretino è un cretino. Due cretini sono due cretini. Diecimila cretini sono un partito politico.”
"Satu orang bodoh tetap bodoh. Dua orang juga. Tapi sepuluh ribu orang bodoh menjadi kekuatan sejarah—bahkan bisa menjadi partai politik."
Rakyat tahu harus marah, tapi mereka lebih sayang pada marahnya jika untuk pejabat yang sudah terlampau... entahlah. Bukan karena mereka tidak sadar, tapi karena mereka terlalu lelah untuk berharap.
Lalu, kita bertanya: apakah kita sedang dipimpin oleh orang yang tidak tahu, atau oleh orang yang tahu tapi tidak peduli?
"The whole problem with the world is that fools and fanatics are always so certain of themselves, but wiser people so full of doubts."
"Masalah dunia ini adalah bahwa orang bodoh dan fanatik selalu yakin akan dirinya, sementara orang bijak penuh keraguan."
Di titik ini, yang dipertaruhkan bukan lagi sekadar logika kebijakan. Ini soal etika berpikir—yaitu kesadaran bahwa pengetahuan tidak cukup bila tidak disertai kerendahan hati. Pejabat yang pintar tapi tak bisa melihat penderitaan rakyat, sebenarnya tak kalah bodohnya dari sadbor yang ditertawakan.
Lebih baik berjoget untuk bertahan hidup, daripada berjoget di atas penderitaan rakyat.
Join the conversation