Paradoks Kebahagiaan

Bahagia bukan soal terus tertawa atau merasa puas tanpa henti. Dalam duka pun, ada bahagia—saat kita belajar sesuatu darinya. Saat kita mampu berdamai


“Happiness is like a butterfly: the more you chase it, the more it will elude you.”

—Henry David Thoreau

Ada satu pertanyaan yang mungkin pernah mampir di kepala kita semua: Untuk apa semua ini? Kerja keras, lembur sampai malam, liburan mahal, beli barang impian—semuanya, konon, demi satu hal: bahagia. Kita menjadikan kebahagiaan sebagai semacam puncak gunung yang harus didaki. Dan saat sampai di sana, hidup akan sempurna. Setidaknya, itu yang kita percaya.

Tapi semakin dikejar, mengapa kebahagiaan justru terasa semakin jauh?

Itulah yang disebut paradox of happiness—semakin kita menjadikan bahagia sebagai tujuan utama hidup, semakin sulit kita benar-benar merasakannya.

Profesor Iris Mauss dari University of California menyebutkan dalam studinya bahwa orang yang terlalu fokus ingin bahagia cenderung terus-menerus memantau perasaan sendiri. Liburan jadi penuh ekspektasi. Aktivitas sederhana harus terasa ‘bermakna’. Dan saat realita tak seindah rencana, kekecewaan datang lebih cepat. Seperti menonton film dengan harapan terlalu tinggi—sulit puas, meski filmnya sebenarnya bagus.

Kita lupa bahwa bahagia bukan soal hasil akhir. Bahagia bukan destinasi.

“There is no way to happiness — happiness is the way.”

—Thich Nhat Hanh

Sering kali, kebahagiaan justru hadir dalam momen-momen sederhana. Tapi pikiran kita, yang sibuk mengejar ‘versi ideal’ dari bahagia, membuat kita melewatkannya. Kita ingin senang sekarang juga. Maka pilihan-pilihan pun condong ke hal-hal yang memberi kesenangan instan: menonton hiburan ringan alih-alih membaca buku yang menantang, memilih nyaman alih-alih bertumbuh.

Di sisi lain, kita juga kerap memakai standar orang lain sebagai ukuran kebahagiaan kita sendiri. Media sosial menyuguhkan potongan momen bahagia orang lain, dan tanpa sadar kita mulai merasa ‘kurang’. Padahal yang ditampilkan hanyalah highlight, bukan keseluruhan cerita.

Seperti kata Theodore Roosevelt,

“Comparison is the thief of joy.”

Studi dalam Journal of Experimental Psychology menunjukkan bahwa orang yang terlalu fokus mengejar kebahagiaan lebih mungkin merasa frustrasi. Mereka lebih sering memikirkan apa yang belum dimiliki ketimbang mensyukuri apa yang ada. Terjebak dalam upaya tanpa henti untuk mencapai sesuatu yang tak jelas batasnya—seperti berlari tanpa tahu tujuan pasti.

Kehidupan yang terlalu dikejar untuk bahagia sering kali kehilangan rasa. Padahal, justru di dalam luka, tawa kecil, hujan yang datang tiba-tiba, atau bahkan dalam rasa kehilangan—di situlah letak keindahannya.

Bayangkan Anda tersesat di gurun pasir yang kering dan panas. Saat akhirnya menemukan seteguk air di sebuah oasis, rasa segarnya tak bisa dibeli dengan apa pun. Mengapa terasa begitu nikmat? Karena sebelumnya Anda merasakan dahaga.

Begitu pula hidup.

Kita baru bisa benar-benar menghargai bahagia saat kita tahu rasanya terluka. Bahagia yang lahir dari penerimaan jauh lebih kuat dari bahagia hasil pengejaran.

“What a wonderful life I’ve had! I only wish I’d realized it sooner.”

Colette

Bahagia bukan soal terus tertawa atau merasa puas tanpa henti. Dalam duka pun, ada bahagia—saat kita belajar sesuatu darinya. Saat kita mampu berdamai, lalu melangkah lagi, sedikit demi sedikit.

Bahagia tidak datang karena segalanya sempurna. Kita mencintai pasangan, meski tak semua kebiasaannya kita suka. Kita mencintai pekerjaan, meski kadang jenuh datang. Hidup tak pernah benar-benar ideal. Dan justru karena itulah, ia begitu nyata.

Berhentilah menunggu semua sesuai rencana untuk merasa bahagia.

Berhentilah membandingkan jalan hidup sendiri dengan orang lain.

Bahagia tidak menuntut kita selalu senang, ia hanya minta satu hal: hadir.

Nikmati yang kecil. Hargai yang biasa.

Karena, seperti kata Marcel Proust:

“The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes.”