Pengetahuan yang Lahir di Pematang

Pengetahuan lahir di pematang, ditempa oleh musim dan cuaca. Pengetahuan dari gedung tinggi hanya diperam dalam buku catatan.

Jika tidak pernah berada di petak sawah bersama para petani, barangkali tidak akan terbayang bahwa obrolan sederhana bisa merentang begitu jauh; mula-mula seseorang akan menceritakan bagaimana ada yang menanam padi jenis tertentu, lalu cerita itu tidak berhenti di situ, tetapi mengalir pada pembahasan tentang varietas lain yang lebih sesuai untuk musim tertentu, dan belum cukup pula di sana, sebab percakapan akan terus bersambung pada pengalaman memilih pupuk atau obat hama yang dianggap paling manjur.

Orang yang terbiasa hanya membaca laporan resmi mungkin tak akan menyadari bahwa cara bertukar cerita seperti itu adalah bentuk pertukaran pengetahuan tacit secara lisan—pengetahuan yang lahir dari pengalaman sehari-hari dan diwariskan tanpa buku atau sertifikat, hanya melalui percakapan yang tumbuh di antara deret rumpun padi muda, seolah di atas tanah berlumpur itu tumbuh bukan hanya padi, melainkan juga kecakapan bersama dan pengetahuan yang terus hidup dari satu musim ke musim berikutnya.

Lucunya, pengetahuan yang lahir dari lumpur dan kerja bersama itu sering dianggap remeh, seakan-akan tidak sahih hanya karena tidak pernah tercetak di modul pelatihan, tidak pernah dibahas oleh para ahli atau dibahas dalam rapat-rapat resmi. Padahal, di situlah kecakapan tumbuh, ditempa oleh musim yang tak selalu bersahabat dan hama yang tak pernah betul-betul punah. Sementara itu, program-program sosialisasi yang rutin digembar-gemborkan lebih sering mampir sebentar untuk mencatat absensi, lalu pergi meninggalkan petani dengan brosur dan janji yang mudah menguap. Maka tak heran jika banyak orang memilih percaya pada cerita yang lahir di tepi galengan, pada pengalaman yang diuji sendiri, daripada menunggu petunjuk resmi yang datang terlambat atau sekadar numpang lewat.

Ada pula orang-orang yang datang membawa teori “keren”—dengan istilah yang panjang dan rumit—lalu duduk di hadapan petani sambil merasa paling paham, seolah pengetahuan yang tumbuh dari buku selalu lebih unggul daripada pengalaman yang tumbuh dari tanah. Mereka datang sekali seumur hidup, mengajukan saran yang terdengar hebat dalam rapat, kemudian cepat pulang dengan perasaan berhasil, tanpa pernah benar-benar tahu apa yang terjadi setelahnya. Sementara itu, cara-cara sederhana yang dibangun petani perlahan dianggap ketinggalan zaman, seakan-akan kesabaran mencermati musim dan merawat benih sendiri adalah kelemahan, bukan kecakapan. Ironinya, dalam banyak kasus, teori itu pun gagal di musim pertama, tetapi jarang ada yang sudi mengakui kegagalan, apalagi meminta maaf.

Lebih bosok lagi rasanya ketika musim panen raya tiba; orang-orang yang selama ini jarang kelihatan, yang oleh banyak petani disebut “uwonge negara”, mendadak muncul dengan rombongan pejabat, kamera, dan spanduk ucapan selamat. Mereka berdiri di antara karung padi yang baru diangkut dari pematang, pura-pura akrab, pura-pura mengerti letihnya menunggu hujan, lalu sibuk berfoto sambil tersenyum lebar. Esok harinya, foto itu terpajang di berita, lengkap dengan kalimat seolah panen itu buah keberhasilan program resmi. Padahal semua orang di kampung hafal siapa yang menyiangi rumput, siapa yang kakinya pecah kena lumpur, dan siapa yang menggantung harapan pada langit setiap musim; tetapi begitulah cerita resmi selalu ditulis—yang berkeringat tak pernah disebut, sementara yang hanya datang sekali pulang membawa ucapan selamat dan nama baik.

Pada akhirnya, semua ini membuat banyak petani memilih diam, seakan sudah bosan berharap pada janji yang hanya bagus di atas kertas. Mereka lebih percaya pada cara sendiri, pada obrolan di pematang yang kelihatannya sederhana tapi terbukti menyelamatkan panen. Tidak banyak yang peduli apakah itu disebut metode modern atau kuno; yang penting padi tumbuh, berbulir, dan bisa dibawa pulang. Sementara itu, orang-orang yang merasa paling tahu tetap sibuk menyusun laporan keberhasilan, menandatangani dokumen pencapaian, lalu berlomba memamerkan hasil yang bukan mereka rawat sejak benih dilempar ke lumpur.

Mungkin di sinilah letak kenyataan yang tak banyak mau diakui: bahwa pengetahuan sejati tak selalu lahir dari seminar atau brosur berlogo kementerian. Ia tumbuh pelan-pelan di pematang, di sela percakapan yang tidak pernah direkam kamera, di antara tangan-tangan yang menyingkirkan gulma sebelum matahari naik tinggi. Seperti kata Michael Polanyi, “We know more than we can tell.” (Kita tahu lebih banyak daripada yang bisa kita katakan.) Barangkali itulah sebabnya petani lebih percaya pada cara mereka sendiri, tanpa banyak bicara, hanya meyakini satu hal sederhana: bahwa tanah yang diolah dengan kesungguhan akan lebih jujur memberi hasil daripada janji yang hanya datang sebentar untuk difoto lalu segera hilang.