Penjajahan Sabun, Beras dan Mie Instan atas Sagu

Kritik sosial terhadap produk sehari-hari seperti sabun, beras, dan mie instan yang menggerus kehidupan lokal Papua.

Di Papua, sabun tak datang bersama pencerahan. Ia datang bersama program kebersihan. Ia dibungkus sebagai bantuan. Ditemani brosur. Diserahkan dengan senyum. Dan dipromosikan lewat spanduk berbunyi: “Hidup sehat, bersih, dan harum.”

Begitulah sabun—sebotol cairan wangi yang kelihatan suci, padahal pelan-pelan menggantikan daun, lumpur, dan ramuan lokal yang selama puluhan generasi menjaga tubuh dan sungai-sungai tetap selaras.

Ivan Illich menyebut ini bentuk penjajahan simbolik. Di mana sesuatu yang tampak sebagai “kemajuan” sebenarnya mengikis daya hidup masyarakat. Bukan karena jahat, tapi karena dibungkus niat baik. “Untuk bantu mereka jadi lebih bersih,” katanya. Tapi siapa yang menentukan bersih itu seperti apa?

“The worst of all possible deceptions is to forget that you are the uninvited guest in someone else’s home.”
– Ivan Illich

Standar Wangi dari Jakarta

Bersih hari ini punya aroma tertentu. Ada standar sabun, standar shampoo, standar wangi pakaian, bahkan standar "wangi anak sehat". Jika kamu tidak sesuai, maka kamu dianggap belum maju.

Di sinilah sabun bukan lagi alat cuci, tapi alat ukur. Ia jadi tiket masuk ke peradaban. Kalau kamu tidak beraroma citrus atau menthol, maka kamu bagian dari dunia yang tertinggal. Kamu bukan korban, tapi dianggap perlu ditolong.

Lalu datanglah penyuluhan. Lalu datanglah program kesehatan keluarga. Dan di sela-sela itu, datanglah kamera, testimoni, dan laporan kegiatan dengan kata kunci: “Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup bersih.”

Illich menyebut ini sebagai “niat baik yang menyesatkan”. Orang luar datang, menganggap diri pahlawan, lalu tanpa sadar mencabut otonomi masyarakat atas tubuh dan cara hidup mereka sendiri.

Dari Hutan Sagu ke Karung Beras, dan Mangkuk Mie Instan

Dulu orang Papua makan sagu. Kadang ubi. Kadang daun dari hutan. Semua tumbuh dari tanah yang mereka kenal, diolah dengan cara yang diwariskan secara lisan, dan dimakan dengan keyakinan bahwa itu cukup.

Tapi kini, sagu dianggap “tidak bergizi”, atau “tidak tahan lama”, atau “tidak cukup modern”.

Maka datanglah beras. Dalam bentuk bantuan. Dalam bentuk subsidi. Dalam bentuk program “ketahanan pangan”.

Dan setelah beras, datanglah mie instan. Cepat saji. Praktis. Bergizi menurut labelnya. Murah menurut logika kota. Dan lambat laun, jadi hidangan harian.

Illich menyebut ini bukan sekadar perubahan konsumsi. Ini pergantian logika hidup: dari logika meramu dan menunggu, ke logika menyeduh dan buru-buru. Dari dapur yang mengenal kayu bakar, ke dapur yang mengenal air mendidih dan bumbu bubuk.

Pelan-pelan, mie instan menggantikan ubi tumbuk. Ia merampas bukan hanya perut, tapi waktu, rasa, dan cerita.

Dan orang mulai berkata: “Kami belum makan, karena belum ada beras dan mie.”

Padahal sagu belum habis. Tapi mentalnya sudah terdesak.

Penutup: Penjajahan Tanpa Senjata

Hari ini, Papua tidak hanya dijajah oleh senapan. Ia juga dijajah oleh sabun cair, brosur kesehatan, sembako bergambar senyum pejabat, dan mie instan dalam dus bantuan.

Ia dijajah oleh standar yang tidak pernah dirundingkan bersama, tapi tiba-tiba dianggap mutlak. Ia dijajah oleh logika luar yang datang tanpa diundang, tapi lalu menyuruh orang dalam untuk berubah.

“People need tools that guarantee their right to work with independence, to learn with dignity, and to live with autonomy.”
– Ivan Illich

Illich mengingatkan kita: tidak semua bantuan membebaskan. Kadang yang disebut “membantu” justru sedang menidurkan. Kadang yang disebut “memajukan” justru sedang mencabut kaki dari tanah.

Sabun memang membuat wangi. Tapi jika setelah itu kita tidak lagi percaya pada air sungai sendiri, mungkin yang tercuci bukan tubuh—tapi kesadaran.

Dan kalau sampai sagu dianggap makanan darurat, sementara mie dan beras dianggap simbol kesejahteraan, maka bisa jadi yang lapar bukan cuma perut, tapi sejarah yang dipaksa diam.