Ronaldo, Fromm, dan Seni Menolak Dewasa

Cristiano Ronaldo, kebebasan, cinta, dan ketakutan akan kedewasaan. Fromm mengajak kita bertanya: apakah kita benar-benar bebas untuk mencintai?


Cristiano Ronaldo punya hampir segalanya: trofi, tubuh atletis, anak-anak yang lucu, pasangan yang memesona, dan tentu saja, ketenaran yang lintas benua. Tapi dari semua itu, satu hal masih jadi tanda tanya: kenapa belum menikah juga?

Pertanyaan ini sebenarnya sudah terlalu sering beredar, terlalu ringan untuk dibahas dalam infotainment, tapi mungkin terlalu dalam untuk benar-benar dipahami. Banyak yang menduga: mungkin karena trauma masa lalu, mungkin belum siap, mungkin terlalu sibuk, atau... mungkin justru karena tak ada yang salah dengan keadaannya sekarang. Semua tetap bisa dijalani, tanpa perlu mengucap ijab kabul.

Namun di balik jawaban-jawaban praktis, ada satu kemungkinan yang jarang disentuh: bagaimana jika penolakan terhadap pernikahan bukan soal komitmen, tapi soal ketakutan yang lebih eksistensial? Ketakutan akan tua, ketakutan akan kehilangan diri, ketakutan akan berakhirnya pilihan-pilihan yang tampak tak terbatas.

Mungkin bukan karena Ronaldo belum sempat, atau belum siap.
Mungkin ia — seperti banyak dari kita — belum selesai berdamai dengan kebebasan itu sendiri.

Dewasa Fisik, Tapi Tak Siap Emosional

Cristiano Ronaldo jelas bukan anak kecil. Tubuhnya adalah katalog dari disiplin dan latihan yang luar biasa. Di usia 39, ia masih tampil di level tertinggi, bersaing dengan pemain-pemain yang bahkan bisa ia panggil “anak-anak.”

Tapi dalam hal relasi, kita justru melihat pola yang akrab: pacaran lama, punya anak, hidup bersama, tapi tidak menikah. Dan ini bukan pola yang khas Ronaldo saja. Banyak tokoh publik laki-laki lain menampilkan hal serupa. Seolah ada bagian dari diri mereka yang menolak tanda-tanda “kedewasaan sosial” — seperti pernikahan, rumah tangga, dan keterikatan jangka panjang.

Fenomena ini bukan sekadar gaya hidup. Ini adalah gejala zaman: banyak orang dewasa secara usia dan fisik, tapi masih enggan bertumbuh secara emosional. Mereka tidak benar-benar ingin bebas — mereka hanya takut kehilangan ilusi kebebasan.

Dan kalau mau jujur, dunia memang mengagungkan mereka. Tubuh muda, hidup glamor, pilihan pasangan tak terbatas — siapa yang ingin kehilangan semua itu demi satu ikatan?

Tapi di balik citra yang rapi, mungkin ada yang sedang ditunda:
kedewasaan yang utuh, yang tidak cuma soal usia atau tubuh, tapi soal kesiapan untuk kehilangan ego, dan memilih tetap tinggal meski bisa pergi.

Cinta Bukan Perasaan, Tapi Keputusan: Belajar dari Fromm

Di tengah dunia yang memuja spontanitas dan perasaan, Erich Fromm datang membawa pesan yang tidak populer:

"Mencintai itu tidak cukup dengan ‘merasakan’ cinta. Mencintai adalah seni. Dan setiap seni membutuhkan kesadaran, kedisiplinan, dan kemauan untuk kehilangan sebagian dari diri."

Dalam bukunya The Art of Loving, Fromm menolak pandangan cinta sebagai sesuatu yang pasif — yang datang dan pergi semaunya. Cinta, katanya, bukan soal menemukan orang yang tepat, tapi kemampuan untuk mencintai dengan benar. Dan kemampuan itu tidak datang dari gairah, tapi dari kedewasaan emosional dan keberanian eksistensial.

Dengan cara pandang itu, kita jadi bisa mengajukan pertanyaan yang lebih dalam soal Ronaldo dan orang-orang sepertinya:

  • Apakah mereka sungguh tak ingin menikah, atau justru takut masuk ke wilayah cinta yang menuntut kedewasaan penuh?
  • Apakah mereka benar-benar bebas, atau hanya belum siap melepaskan citra pria yang bisa memilih siapa saja kapan saja?

Karena menurut Fromm, cinta sejati itu bukan tentang kebebasan tanpa batas — justru sebaliknya:

"Cinta adalah keberanian untuk mengikatkan diri dengan sadar. Bukan karena tidak ada pilihan lain, tapi karena itulah pilihan yang paling manusiawi."

Maka, menikah bukanlah akhir dari kebebasan — ia justru bisa menjadi ekspresi paling tinggi dari kebebasan itu sendiri: ketika seseorang memilih untuk tinggal, padahal ia bisa pergi.