Santri Juga Dhawuhan: Menampung, Menyambung, Menyalurkan
Santri bukan hanya penerima ilmu, tapi dhawuhan—penyalur nilai yang menghidupi masyarakat.
Pertanyaan itu tidak datang dari luar pesantren. Ia bukan ejekan dari orang yang asing dengan dunia santri. Justru sebaliknya. Itu keluar dari mulut seseorang yang telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di pesantren. Dua belas tahun lebih, sejak lulus SD, ia mondok dan mengaji.
Maka, jangan buru-buru tersinggung. Pertanyaan itu bukan pelecehan, tapi perenungan. Ia seperti mengetuk-ngetuk pintu yang kadang lama tak dibuka: setelah bertahun-tahun mondok, kita ini sebenarnya jadi apa? Bisa apa? Mau ke mana?
Dari Kitab ke Kehidupan
Mondok tidak diragukan: ia membentuk adab, mendisiplinkan laku, dan memperkenalkan kita pada warisan ilmu yang sangat kaya. Tapi ada satu masalah yang kadang mengendap di dalam: pesantren, dengan segala keluhuran ilmunya, tidak selalu menyambungkan teks dengan konteks.
Santri bisa hafal Safinatun Najah, bisa paham Ushul Fiqih, bisa menelusuri syarah panjang dalam Tafsir Jalalain, tapi tetap bisa bingung saat melihat harga sembako naik, tanah warga disita, atau pemilu penuh manipulasi.
Tak jarang, yang tersisa dari proses panjang mondok hanyalah rasa takut: takut salah niat, takut keluar dari manhaj, takut bid'ah, takut dosa. Tapi bukan takut yang membebaskan, melainkan takut yang membekukan.
Kita bisa hafal kaidah-kaidah agama, tapi gagap saat ditanya: harus apa ketika rakyat kelaparan? Atau: bolehkah diam saat penguasa menyalahgunakan agama untuk melanggengkan kuasa?
Santri Tidak Perlu Kaya, Tapi Bercahaya
Bercahaya di sini bukan metafora kosong. Ia artinya: bermanfaat, aplikatif, dan membumi. Santri tidak diharapkan menjadi elite yang glamor, bukan pula pendakwah yang eksklusif. Santri cukup menjadi pelita. Cukup menjadi penerang.
Sebab dunia ini tidak kekurangan orang kaya, tapi kekurangan orang yang bercahaya.
Santri bisa jadi petani, jurnalis, pengacara, guru TK, pendamping difabel, aktivis lingkungan, atau pengurus RT—asal semua itu dilakukan dengan semangat: “bagaimana ilmunya bisa berguna?”
Santri yang bercahaya menyambung pelajaran dengan kenyataan. Bukan sibuk mengukur panjang jenggot orang lain, tapi memikirkan bagaimana warganya bisa hidup lebih layak.
Santri Juga Dhawuhan
Dhawuhan bisa berarti dua: sebagai bentuk dari dhawuh (sabda), dan sebagai tempat pertama air tertampung dari sungai ke sawah. Santri adalah dhawuhan dalam kedua arti itu.
Sebagai penyampai dhawuh, santri menyampaikan sabda yang memuliakan, bukan menghukum. Sebagai dhawuhan sawah, santri menampung ilmu dan menyalurkannya ke masyarakat.
Jika dhawuhan itu kotor, maka air yang sampai ke sawah-sawah pun akan rusak. Tapi jika dhawuhan itu jernih, maka ia akan menghidupi.
Dari Zaman Kolonial: Santri Sebagai Penggerak
Sejarah mencatat: santri pernah jadi pelaku sejarah. Mereka menyulut semangat kemerdekaan. Resolusi jihad dari Hadratussyekh Hasyim Asy'ari bukan sekadar seruan teologis, tapi ajakan melawan penjajahan.
Santri bergerak bersama rakyat. Mereka menyebarkan pesan perjuangan dalam bahasa agama. Mereka menyalakan obor kemerdekaan. Bukan sekadar hafal teks, tapi berani membela.
Hari santri adalah pengingat, bahwa darah santri pernah tumpah untuk tanah ini.
Antara Tradisi dan Kesadaran Baru
Kita tidak menolak tradisi. Kita justru ingin menyambungnya dengan zaman. Santri yang bisa baca kitab gundul dan juga paham anggaran desa. Santri yang bisa mengaji kitab dan juga membaca realitas sosial.
Kalau tidak, kita hanya akan bangga dengan hafalan, tapi gagap dalam pengabdian.
Pulang Bukan Berarti Selesai
Mondok bukan akhir. Itu awal. Santri tidak harus jadi ulama besar, tapi cukup jadi orang baik yang bermanfaat. Yang menenangkan masyarakat, menyuarakan kebenaran, dan tahu kapan bicara.
Penutup: Cahaya yang Mengalir
Setelah lama mondok, santri tidak cukup tahu halal-haram. Ia harus tahu bagaimana menyelamatkan manusia. Ia harus jadi dhawuhan: menerima ilmu, menjernihkan niat, dan mengalirkannya.
Dunia tidak butuh lebih banyak orang pandai. Dunia butuh lebih banyak orang yang memihak.
Dan santri, jika ia jujur pada ilmunya, tahu benar kepada siapa ia harus berpihak.
Join the conversation