SDM: Sumber Daya Mesin atau Manusia?
Sekolah, katanya, tempat menyiapkan manusia. Tapi dari tahun ke tahun, rasanya sekolah lebih mirip pabrik: ada lini produksi, ada standar mutu, ada produk gagal, dan tentu saja—ada label SDM unggul.
Manusia pun berubah nama jadi “sumber daya”. Sejajar dengan nikel, batu bara, dan komoditas ekspor lain. Bedanya, yang satu ditambang dari tanah. Yang satu ditambang dari kelas-kelas yang panas dan kurikulum yang tidak ditanya dulu sebelum diterapkan.
Terdidik atau Terlatih?
Kata para pakar pengembangan SDM, manusia bisa diklasifikasikan dua:
- Yang terdidik, katanya, bisa berpikir strategis.
- Yang terlatih, bisa menjalankan perintah dengan cepat.
Tapi dalam praktiknya, sekolah malah lebih banyak melatih daripada mendidik.
Anak-anak dibiasakan:
- duduk diam tanpa debat,
- mengisi soal tanpa nalar,
- mengikuti jadwal tanpa tanya “kenapa”.
Jadi, kalau sekarang banyak manusia "patuh tapi bingung", mungkin karena sekolah tidak melahirkan pemikir, tapi eksekutor sistem.
Dan ijazah hanyalah bukti kamu tidak pernah terlalu banyak protes.
Upacara dan Mental Baris-Rapi
Setiap Senin pagi, anak-anak diajak berdiri menghadap bendera. Disuruh diam, hormat, dengar pidato, dan menyanyikan lagu.
Katanya, untuk membentuk karakter.
Tapi karakter apa?
Karakter diam saat ada suara di pengeras.
Karakter siap baris sebelum tahu kenapa harus baris.
Karakter pakai topi bukan karena bangga, tapi karena takut ditegur.
Darmaningtyas menyebut ini sebagai militerisasi pendidikan.
Pelan-pelan anak dipersiapkan bukan untuk hidup merdeka, tapi untuk selaras dengan aba-aba.
Kabar Baru: Kalau Gagal Didik, Kirim ke Barak
Sekarang, di provinsi sebelah, tren pendidikannya naik kelas:
Anak-anak yang dianggap susah diatur, dikirim ke barak.
Supaya “diluruskan karakternya” lewat ranjang susun, sepatu bot, dan fajar yang membangunkan dengan teriakan.
Illich mungkin menyebut ini sebagai bentuk pemaksaan sistemik.
Tapi di sini, itu disebut “program cinta anak bangsa”.
Daripada mereka jadi liar, mending kita bentuk di tempat yang tegas.
Padahal yang dibentuk justru ketakutan untuk berpikir sendiri.
Barak bukan tempat dialog, tapi tempat disiplin tanpa negosiasi.
Dan kalau pulang nanti anaknya jadi penurut, semua akan bertepuk tangan—tanpa sadar mereka sedang merayakan suksesnya domestikasi.
Ijazah: Stempel Lulus dari Mesin
Lulus sekolah hari ini bukan berarti siap hidup.
Tapi siap melamar pekerjaan.
Ijazah jadi syarat ikut antre.
Tanpa ijazah, kamu dianggap tidak lengkap.
Dengan ijazah, kamu dianggap siap disalurkan—ke mana saja, asal sesuai slot.
Yang penting bisa kerja. Urusan berpikir belakangan.
Padahal sekolah tidak selalu membekali berpikir.
Ia hanya membiasakan untuk masuk waktu, ikut format, dan selesai target.
Pendidikan yang Menjinakkan
Darmaningtyas menyebut pendidikan hari ini sebagai alat pemiskinan yang rapi.
Sekolah bukan membebaskan orang miskin, tapi membuat mereka terus-menerus percaya bahwa nasib bisa berubah kalau rela dibentuk sesuai sistem.
Sementara Illich, dari sisi lain dunia, berkata:
Institusi modern, termasuk sekolah, membunuh inisiatif,
dan menciptakan ketergantungan pada sistem yang tidak bisa dipengaruhi.
Maka lengkaplah:
- Pendidikan dijadikan alat domestikasi sosial,
- Bahasa teknokratik seperti “SDM unggul” dijadikan kamuflase,
- Dan sekolah jadi pabrik yang hanya menghargai keluaran, bukan keberadaan.
Penutup: Mesin atau Manusia?
Manusia bukan komponen.
Tapi kalau sistem terus menyebutnya sebagai "SDM",
dan sekolah terus mencetak sesuai spesifikasi pasar,
lalu siapa yang akan menyadarkan bahwa kita bukan produk, tapi makhluk berpikir?
Kalau yang mandiri dianggap susah diatur, dan yang kritis dianggap pembangkang,
maka mungkin yang rusak bukan murid—tapi mesin yang terus mencetak.
Join the conversation