Sekolah: Candu, Bisnis, dan Doktrin
Sebagai pengangguran yang benar-benar kaya akan waktu luang, sesekali saya berpikir: semakin tahun, semakin banyak sarjana di negeri ini. Kampus-kampus pun berlomba menaikkan statusnya—yang dulunya hanya sekolah tinggi, kini menjadi institut; yang dulunya institut, kini menjadi universitas. Tapi di balik semakin banyaknya gelar sarjana, semakin pula bertambah pengangguran yang berijazah S1. Di situ, ada sedikit celah masalah: orang-orang yang terlanjur menjadi sarjana, yang tumbuh dari keluarga petani, sering kali tidak lagi luwes jika harus kembali terjun ke sawah.
Maka, barangkali, di sanalah tersembunyi masalah yang jarang diakui: pendidikan sering kali mencabut akarnya sendiri—membuat orang merasa asing di tanah tempat ia lahir.
Banyak dari kita tumbuh dalam keyakinan sederhana: sekolah adalah tangga yang mesti dipanjat. Siapa saja yang tekun menapakinya, konon akan sampai di puncak kehidupan yang lebih baik. Maka orang tua rela bekerja lebih keras, rela berutang, rela mengorbankan apa saja supaya anaknya bisa duduk di bangku yang disebut “sekolah unggulan.”
Namun di balik papan tulis dan upacara bendera, ada sesuatu yang jarang dibicarakan secara jujur: sekolah bisa menjadi candu.
“Sekolah adalah mesin produksi manusia seragam yang hanya cocok bagi pabrik-pabrik kehidupan modern.”
—Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu (1999)
Ia menggambarkan sekolah sebagai tempat yang membuat kita ketagihan pengakuan, sekaligus ketakutan kalau sewaktu-waktu kehilangan stempel bernama ijazah. Kita tak lagi bertanya: untuk apa semua ini? Karena sejak kecil sudah diingatkan, tanpa ijazah, kita tak ada harganya.
Di sisi lain, Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan menunjukkan sisi lain yang sama getirnya: sekolah bukan hanya candu psikologis, melainkan juga instrumen pemiskinan yang dilembagakan.
“Sekolah, dalam praktiknya, menjadi alat seleksi sosial yang melegitimasi ketimpangan.”
—Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (2004)
Setiap kenaikan kelas berarti ongkos tambahan: seragam baru, buku baru, pungutan sukarela yang diam-diam wajib. Semua itu dibayar demi ilusi mobilitas sosial, padahal peluangnya tak pernah benar-benar merata. Data BPS 2022 menunjukkan, lebih dari 1 juta sarjana Indonesia masih menganggur. Ironisnya, sebagian besar berasal dari keluarga yang berutang demi kuliah anaknya.
Namun candu dan kemiskinan bukan cerita satu-satunya. Ada lorong lain yang lebih licik: sekolah adalah jalur paling rapi untuk mendoktrin.
“School is the advertising agency which makes you believe that you need the society as it is.”
—Ivan Illich, Deschooling Society (1971)
Sekolah tak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi juga mencetak mental yang rela tunduk pada sistem apa adanya. Upacara bendera dan lagu kebangsaan disebut ritual nasionalisme, tetapi sering lebih mirip latihan kepatuhan. Kurikulum dibuat sama di seluruh negeri, seakan anak di pedalaman Papua atau di kota besar Jawa mesti menelan pengetahuan dengan takaran identik.
Roem menyebutnya “nafsu menyeragamkan,” nafsu yang membuat sekolah kehilangan relevansi lokalnya.
Ironisnya, semua kelemahan itu dibenarkan dengan satu kalimat sakti: “Buktinya, ada yang berhasil.” Beberapa nama dijadikan poster motivasi: “Anak tukang becak kini jadi doktor,” “Anak desa tembus universitas negeri.” Ribuan kegagalan diam-diam dikubur dalam sunyi, supaya tak mengganggu optimisme palsu.
Inilah kompetisi dalam kompetisi—persaingan yang tak hanya soal nilai ujian, tetapi juga siapa yang paling layak mendapat pengakuan. Nilai kemanusiaan perlahan menipis. Teman berubah jadi pesaing, kebanggaan berubah jadi obsesi. Yang lebih memedihkan, siapa yang tercecer sering merasa diri cacat.
“Pendidikan di Indonesia cenderung lebih suka menilai ketertundukan ketimbang kreativitas.”
—Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (hlm.47)
Kalau ditarik garis, pendidikan modern ini adalah tiga serangkai yang sulit dipisahkan:
- Candu pengakuan,
- Bisnis yang memiskinkan,
- Lorong propaganda yang mendisiplinkan pikiran.
Dan kita bertepuk tangan di sepanjang jalan itu, seakan semua berjalan wajar.
Tapi apakah semua ini tak punya jalan lain? Apakah satu-satunya cara belajar adalah duduk manis menunggu perintah dari podium?
Sebenarnya, banyak yang sudah lama menawarkan bentuk pendidikan alternatif. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menolak model “banking education”—pendidikan yang menganggap murid sebagai tabungan kosong yang harus diisi.
“Education must begin with the solution of the teacher-student contradiction, so that both are simultaneously teachers and students.”
—Paulo Freire
Di Indonesia sendiri, komunitas belajar rakyat pernah hidup di banyak tempat. Sekolah-sekolah alternatif muncul dari keresahan petani, buruh, atau warga kampung yang muak dengan kurikulum seragam. Ada yang membuat kelompok diskusi kecil, ada yang membuka perpustakaan gratis di balai desa, ada yang menciptakan kelas berbagi keterampilan sehari-hari.
Barangkali bentuk-bentuk itu belum sempurna. Tapi setidaknya mereka tumbuh dari semangat bahwa belajar tidak harus selalu mengabdi pada gelar. Belajar bisa menjadi cara menegakkan martabat, bukan sekadar memburu pengakuan.
Barangkali, ini juga saat yang tepat untuk sedikit menundukkan kepala. Bahwa tak semua keberhasilan akademis murni buah kerja keras sendiri. Ada keberuntungan, ada warisan, ada privilese yang tak semua orang kebagian.
Dan jika hari ini kita punya selembar ijazah, satu-dua gelar, atau jabatan yang lahir dari jalur pendidikan resmi, mungkin itu memang patut disyukuri. Tapi tak ada alasan untuk menjadi angkuh—seolah-olah orang lain yang tak menempuh jalan yang sama pasti lebih rendah derajatnya.
Sebab di luar pagar sekolah, di luar aula wisuda, ada banyak kecakapan yang tak pernah tercatat dalam rapor. Ada keberanian bertahan dalam keterbatasan, ada kecerdasan merawat kebersamaan, ada kebajikan yang lahir bukan dari buku pelajaran.
Maka barangkali, yang lebih penting dari sekadar mengagungkan ijazah adalah merawat kerendahan hati—menyadari bahwa ilmu seharusnya membuat kita semakin tahu diri, bukan semakin gemar menghakimi.
Dan sebelum kita melangkah lebih jauh dalam lomba panjang bernama pendidikan ini, mungkin ada baiknya kita berhenti sejenak. Bertanya dengan jujur: apakah yang sedang kita kejar sungguh-sungguh membuat kita lebih manusiawi? Atau hanya membuat kita lebih lihai membanggakan diri?

Join the conversation