Sekolah Rakyat: Rumah Baru Saat Rumah Lama Masih Bocor

keluh kesah soal sekolah rakyat


Pemerintah, seperti biasa, punya kebiasaan lama dengan baju baru. Kali ini namanya Sekolah Rakyat—dalam narasi resmi: sebuah gagasan Presiden Prabowo untuk “memuliakan keluarga miskin” dan “memutus rantai kemiskinan”.

Tapi mari kita perlambat sedikit langkah, hirup napas dalam-dalam, dan bertanya pelan-pelan:

Apakah ini benar solusi cerdas, atau hanya panggung lain dalam kompetisi siapa paling peduli?

Kalau Bisa Bangun Baru, Mengapa Repot Memperbaiki?

Bayangkan Anda punya rumah lama. Atapnya bocor, lantainya keropos, dan dindingnya nyaris roboh. Alih-alih merenovasi, Anda justru membangun rumah baru persis di sampingnya. Rumah baru ini diberi nama “Rumah Rakyat”. Semua tamu diarahkan ke sana, semua kamera difokuskan ke pintu depannya.

Pertanyaannya:

Apakah ini solusi jangka panjang, atau hanya pencitraan arsitektural?

Begitulah kira-kira perasaan kita terhadap Sekolah Rakyat. Padahal sekolah negeri sudah megap-megap, guru banyak yang honorer dengan gaji setara uang jajan SMP, dan toilet sekolah sudah lebih mirip ruang meditasi—sunyi dan gelap.

Sekolah Rakyat dan Sindrom Narsis

Mari kita akui, pemerintah kita jago memberi nama. Ada Kartu Prakerja, Kartu Indonesia Pintar, KIP Kuliah, dan kini Sekolah Rakyat. Tapi sering kali, yang manis adalah nama, bukan pelaksanaannya.

Maka muncul pertanyaan klasik:

Jika tujuannya untuk pendidikan berkualitas bagi rakyat miskin, kenapa tidak perbaiki saja sekolah negeri yang sudah ada?

Tapi mungkin jawabannya sederhana:

Sekolah negeri terlalu senyap untuk dipromosikan.

Terlalu membosankan untuk dipotret.

Terlalu tidak “baru” untuk diklaim sebagai warisan politik.

Sekolah Negeri: Mati Pelan Tanpa Obituari

Sekolah negeri saat ini bukan sedang sakit, tapi perlahan sekarat. Ia ditekan dari dua sisi:

  • Dari atas, oleh kebijakan yang tak pernah selesai mencari “format baru”.
  • Dari bawah, oleh sekolah swasta murah dengan label religius yang lebih fleksibel dan ramah dompet.

Dan kini, dari samping, oleh saudara barunya yang bernama Sekolah Rakyat—yang datang dengan anggaran, perhatian, dan label mulia yang memesona.

Apakah ini solusi? Atau justru bentuk baru dari kompetisi dalam tubuh negara sendiri?

Rakyat Dididik, Tapi Tidak Dilibatkan

Satu hal yang selalu membuat kita gelisah: rakyat kerap disebut, tetapi jarang diajak bicara.

Sekolah Rakyat katanya untuk memuliakan rakyat. Tapi rakyat tak pernah ditanya:

"Sekolah seperti apa yang kalian butuhkan?"

"Apa yang sebenarnya kurang dari sekolah yang sudah ada?"

Barangkali, yang dimuliakan bukan rakyatnya, tapi niat baik pemerintah sendiri. Atau lebih tepatnya: keinginan untuk dilihat sebagai pihak yang paling peduli.

Jika Benar Ingin Membantu, Jangan Bangun Rumah Baru

Kita tidak anti dengan inovasi. Silakan bangun apa pun selama itu bermanfaat. Tapi jangan sampai inovasi menjadi dalih untuk meninggalkan kewajiban lama.

Sekolah negeri tidak butuh saingan. Ia butuh penyelamat.Guru tidak butuh pengganti, mereka butuh gaji yang layak dan penghormatan.

Anak-anak tidak butuh gedung baru, mereka butuh sistem yang memberi harapan.

Dan rakyat—ah, rakyat itu sabar. Tapi jangan terlalu sering diberi nama dalam program, tanpa diberi ruang dalam proses.

Jadi kalau boleh usul:

Daripada membangun Sekolah Rakyat, bagaimana kalau kita buat Negara yang Rakyat?

Akhir kata,

mungkin Sekolah Rakyat memang lahir dari niat baik. Tapi niat baik saja tidak cukup jika lupa memperbaiki rumah yang sudah lama bocor. Karena dalam hal pendidikan, rakyat tidak butuh panggung baru—mereka butuh keadilan lama yang belum ditepati.

Kalau memang benar ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, jangan cuma mencetak program—cetaklah kepercayaan. Dan itu, sayangnya, tak bisa dibangun dengan brosur dan sambutan, tapi dengan kerja sunyi yang konsisten.