Tips Agar Menjadi Orang Miskin Unggulan
Menjadi miskin itu mudah dan setiap orang mempunyai peluang untuk miskin. Namun menjadi miskin unggulan—yang tetap bisa tertawa, tidak merepotkan orang lain, dan bahkan tampil tenang di tengah badai utang—itu membutuhkan bakat, latihan, dan... sedikit keteguhan hati. Tidak semua orang mampu.
Inilah panduan menjadi miskin kelas wahid. Bukan untuk membuat orang menyerah, melainkan agar yang sedang miskin tidak merasa sendirian—dan siapa tahu, justru menemukan kekuatannya sendiri.
1. Terima Saja Dulu, Nanti Juga Terbiasa
Daripada sibuk menyangkal keadaan, lebih baik diakui saja. Agar cepat selesai emosinya, dan kita bisa lanjut mengatur strategi—kalau ada. Kalau belum ada, ya dinikmati dulu. Kadang, damai itu datang dari penerimaan, bukan perlawanan.
Tidak perlu mengumbar-umbar, tetapi dalam hati penting untuk berkata, "Baik, saya sedang berada di bawah." Karena banyak yang terlalu sibuk terlihat sukses sampai lupa mencari jalan keluar yang realistis.
“Happiness does not depend on what you have or who you are. It solely relies on what you think.”
— Buddha
2. Jangan Terlalu Sering Membandingkan Hidup
Hidup orang lain kelihatannya selalu lebih kinclong. Namun itu hanya dari layar. Kita tidak tahu di balik filter itu ada cicilan atau tidak. Terlalu sering membandingkan, justru membuat lelah sendiri—padahal belum tentu kalah.
Fitur "eksplorasi" itu kadang lebih kejam dari tagihan. Kita bisa merasa tertinggal hanya karena orang lain memposting tempat ngopi yang kursinya empuk. Padahal, kita juga bisa membuat kopi di rumah. Tinggal tambahkan es batu dan niat.
3. Gengsi Itu Berat, Letakkan Dulu
Serius. Gengsi itu bisa membuat lapar. Kalau terus dipelihara, yang kenyang justru orang yang kita iri-i. Lebih baik hidup sederhana namun damai, daripada pamer namun tidak bisa tidur karena memikirkan utang.
Kalau diundang ke pernikahan, datang saja seadanya. Jangan memaksakan membeli baju baru, apalagi berutang hanya untuk terlihat 'layak unggah'. Miskin unggulan tahu bahwa nilai manusia tidak diukur dari tas tangan atau sepatu yang sedang tren.
“He who buys what he does not need, steals from himself.”
— Pepatah Swedia
4. Motivator Tidak Membayar Tagihan Listrikmu
Semangat itu baik, tetapi jangan sampai tertipu narasi. Kadang kita butuh realita, bukan sekadar kata-kata penyemangat. Lebih baik teman yang diam-diam meminjamkan uang, daripada motivator yang hanya berkata: "Kamu pasti bisa!"
Kata-kata positif itu penting, tetapi bukan pengganti logika dan perencanaan. Jangan hanya semangat mengubah nasib, tetapi tidak tahu arah. Dan ingat, semesta akan mendukungmu... setelah kamu bayar token listrik.
“To live is to suffer, to survive is to find some meaning in the suffering.”
— Friedrich Nietzsche
5. Sederhana Bukan Berarti Sembarangan
Kalau hanya memiliki satu kaus, cucilah secara rutin. Hidup sederhana bukan berarti hidup asal-asalan. Tetap ada estetika meskipun hanya memiliki satu piring dan gelas plastik.
Kita tetap bisa wangi tanpa parfum mahal, tetap rapi tanpa lemari besar. Justru, dari keterbatasan itu muncul kreativitas: memasak dengan bumbu seadanya, mendekorasi kamar memakai kalender bekas, dan tidur nyenyak meskipun kipasnya berbunyi kretek-kretek.
6. Jangan Menjadi Beban bagi Sesama Pejuang
Kalau sedang kesulitan, jangan malah menjadi alasan orang lain makin susah. Jangan meminjam kepada yang sama-sama berjuang. Kalau ingin menjadi unggulan, minimal jangan memberatkan teman senasib.
Solidaritas kelas bawah itu penting. Ada etika tak tertulis di antara orang yang sedang kesusahan: saling membantu sebisanya, saling mengerti kondisi, dan tidak memanfaatkan kesempitan. Kalau bisa saling mengangkat, mengapa harus saling menjatuhkan?
7. Tertawa Itu Tanda Masih Waras
Kalau kita bisa menertawakan hidup, itu tandanya masih punya energi untuk terus berjalan. Tidak perlu memaksakan bahagia, tetapi juga jangan terus mengeluh. Kadang, secangkir kopi dan senyum kecil saja sudah cukup menjadi bentuk perlawanan.
Bahkan, dalam tawa yang kelihatannya ringan itu, tersimpan keberanian untuk bertahan. Miskin unggulan tahu: humor itu senjata, bukan pelarian. Karena hidup tidak akan tiba-tiba menjadi lucu, kecuali kita memilih untuk melihatnya demikian.
8. Tetap Belajar, Meski Wifi Tetangga Sering Dikunci
Keterbatasan tidak harus menghalangi pengetahuan. Miskin unggulan tetap mencari tahu. Entah itu lewat buku bekas, obrolan warung kopi, atau mencuri sinyal wifi saat malam hari.
Belajar bukan hanya soal sekolah. Tapi tentang tahu apa yang sedang terjadi, dan bisa mengambil sikap. Miskin itu boleh, tetapi jangan sampai bodoh secara berjamaah.
9. Tahu Kapan Harus Diam
Kadang, menjadi miskin membuat kita disalahpahami. Dikiranya malas, dianggap tidak berusaha. Namun kita tidak harus selalu membela diri. Miskin unggulan tahu kapan harus menjelaskan, kapan cukup tersenyum sambil berkata dalam hati: "Kamu belum pernah berada di sepatuku."
Diam bisa menjadi bentuk tertinggi dari elegansi. Terutama saat omongan orang tidak akan membayar utangmu.
10. Jangan Takut Berkata "Tidak Bisa"
Banyak orang miskin yang akhirnya makin terpuruk karena merasa harus menyenangkan semua orang. Tidak enakan, tidak tega, menjadi penurut demi diterima. Padahal, kadang kita harus berkata: "Maaf, saya belum mampu."
Miskin unggulan tahu: menolak itu hak, bukan dosa. Kita tidak harus memenuhi ekspektasi orang lain hanya karena merasa minder.
Akhir Kata: Jadi Miskin, Tapi Tetap Punya Gaya
Bukan gaya dalam arti mewah. Tapi gaya dalam menyikapi hidup. Miskin boleh, tetapi jangan sampai kehilangan arah. Dan kalau bisa memilih, lebih baik menjadi miskin yang bisa membuat orang lain ikut kuat.
“Man is not worried by real problems so much as by his imagined anxieties about real problems.”
— Epictetus
Karena pada akhirnya, menjadi unggulan bukan soal isi dompet. Tapi tentang bagaimana kita tetap berdiri saat dunia berkata bahwa kita seharusnya duduk diam.
Dan kalau pun hari ini belum merasa unggulan... tenang. Dengan membaca ini saja, berarti sudah satu langkah lebih sadar dari kemarin. Ya... meskipun masih tetap...miskin.
Join the conversation